Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terkait Transisi Energi, Dekan FT UGM: Indonesia Masih Bergantung SDA Fosil

Kompas.com - 16/10/2023, 12:21 WIB
Albertus Adit

Penulis

Sumber UGM

KOMPAS.com - Hingga kini, Indonesia masih bergantung pada sumber daya alam (SDA) yang tidak bisa diperbaharui. Tetapi, Indonesia juga berusaha untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060.

Kendati demikian, penggunaan SDA fosil (tak bisa diperbaharui) seperti penggunaan bahan bakar batu bara mencapai 35,36 persen, gas alam sebesar 19,36 persen, dan minyak bumi sebesar 34,38 persen.

Menurut Dekan Fakultas Teknik UGM Prof. Ir. Selo, S.T., M.T., M.Sc., Ph.D., hampir seluruh sektor industri, transportasi, peternakan, hingga perumahan telah menggunakan bahan bakar hasil bumi.

Ini yang menyumbang emisi karbon, dan mengakibatkan perubahan iklim. Hal itu dia ungkapkan pada diskursus bertema “Energy Transition Discourse: Indonesia’s Pathway to Achieving Net Zero Emissions by 2060”, Sabtu (14/10/2023).

Baca juga: Ikut Shell Eco-Marathon 2023, Mobil Hemat Energi ITS Juara 3 Dunia

"Musim penghujan yang seharusnya kalau dari kebiasaan tahun-tahun sebelumnya itu sudah masuk hari ini, tapi sampai saat ini kita belum memasuki musim hujan," ujarnya, dilansir dari laman UGM, Senin (16/10/2023).

Tak hanya itu saja, di beberapa tempat juga banyak yang mengalami kekeringan air.

Untuk itu, ia memberi saran agar masyarakat dapat mengurangi penggunaan energi. Seperti mengatur penggunaan listrik, dan beralih ke transportasi umum.

"Penggunaan bahan bakar fosil ini semakin meningkat, dan kalau dibiarkan tentu tidak baik. Kalau kita melihat pertumbuhan energi terbarukan saat ini juga belum sesuai harapan," kata dia.

Sedangkan Ahmad Agus Setiawan S.T., M.Sc., Ph.D., dari Fakultas Teknik UGM mengatakan, melalui Presidensi G20 Indonesia, para pemimpin dunia telah menyetujui adanya poin transisi energi, khususnya di Indonesia.

Komitmen inilah yang akan terus dipertahankan, bahkan memimpin negara lain untuk ikut melakukan transisi energi.

Baca juga: Geothermal, Sumber Energi Terbarukan dan Ramah Lingkungan

"Indonesia ini merupakan negara keempat dengan penduduk terbanyak. Tapi kita jugalah yang berada di nomor 12 di dunia untuk penggunaan energi. Ini agak ngeri juga, harus hati-hati. Selain itu, kita juga menjadi nomor 1 sebagai eksportir batu bara dunia," ungkapnya.

"Kita punya timeline Net Zero Emission Milestone. Dan ini bukan lagi bisa ditunda, sudah darurat. Jadi, ini waktunya sekarang kita punya teknologi dan dimaksimalkan. 2050 itu bukanlah waktu yang singkat untuk melakukan revolusi energi, tapi tentunya akan dipercepat," jelasnya.

Hanya saja, Indonesia masih menggunakan batu bara yang jadi penyumbang emisi karbon terbesar. Bahkan penggunaannya juga terus meningkat sejak 2000.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan energi terbarukan yang cenderung stagnan. Ketergantungan Indonesia akan industri batu bara menjadi hambatan utama dalam mencapai skema transisi energi.

Potensi kerugian akan pengurangan atau pemberhentian industri pun juga menjadi ancaman.

M. Rizki Kresnawan, S.T., M.Eng., pakar Climatework Center, Monash University menjelaskan, kunci kesuksesan transisi energi di Indonesia ini ada empat.

Dari segi sistem, ini harus diseimbangkan, bagaimana peran PLN nanti dan bagaimana industri energi ini berjalan berdampingan. Lalu dari segi komunitas, ini masih harus didorong.

Baca juga: Tertarik Masuk SMK? Ini yang Dipelajari di Jurusan Teknik Energi Terbarukan

"Persoalan lain adalah bagaimana kita membuat transisi yang halus. Jadi meskipun misalkan nanti ada sektor yang ditutup, ekonomi ini tidak jatuh dan tidak ada disrupsi lain yang muncul," tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com