Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Memahami "Human Capital Leadership": Pendidikan dan Daya Saing Talenta Muda Indonesia

Kompas.com - 28/09/2023, 11:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menurut survei Indikator Politik Indonesia tahun 2022, sebanyak 82,1 persen responden menginginkan anaknya untuk melanjutkan studi ke pendidikan sarjana. Hal ini jelas menyuratkan bahwa pendidikan bisa mengubah nasib masyarakat.

Pendidikan kita perlahan kualitasnya jauh lebih baik. Misalnya, program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) membuat mahasiswa menjadi lebih percaya diri dan bisa lebih bersaing.

Selain itu, alumni program MBKM kini hanya menunggu kurang dari tiga bulan untuk mendapatkan pekerjaan.

Banyak pihak yang mengapresiasi program MBKM. Menurut survei dari Indikator Politik Indonesia tahun 2022, sebanyak 82,1 persen mengatakan program ini bermanfaat.

Sinyal kepuasan ini menyiratkan bahwa pendidikan Indonesia membutuhkan pendekatan inovatif agar kualitasnya semakin membaik pada tahun-tahun mendatang.

Alasan lain kita butuh pendekatan inovatif adalah agar setiap masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke merasakan manfaat pendidikan.

Terlebih, ketika melihat data BPS tahun 2019, tidak semua orang mengenyam pendidikan yang tinggi. Semakin tinggi jenjang pendidikan, angkanya semakin turun.

Kita juga membutuhkan pendekatan inovatif untuk meningkatkan kualitas manusia kita: SD (97,58 persen), SMP (79,35 persen), SMA (60,70 persen), universitas (18,87 persen).

Ini pun berdampak pada angkatan kerja kita. Menurut data BPS tahun 2021, banyak pekerja kita yang belum mengenyam pendidikan yang tinggi: SMK (12,86 persen), SMA (18,87 persen), SMP (17,76 persen), dan SD ke bawah (37,69 persen). Angka partisipasi pendidikan disebabkan oleh faktor ekonomi (76 persen).

Data di atas sebagian menjawab mengapa kita perlu memperkuat talenta kita. Tingkat pendidikan sedikit banyaknya mencerminkan gap pengetahuan, pola pikir, sikap, dan skill.

Melalui pendidikan, anak muda di Indonesia makin terekspos banyak hal, yang membentuk pola pikir kita. Dengan pendidikan, kita bisa meningkatkan kualitas human capital.

Blueprint dan akselerasi penyelesaian

Presiden Jokowi sudah menggagas Impian Indonesia 2015-2085. Ada tiga visi terkait human capital, yaitu: sumber daya manusia Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia, masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, berbudaya, religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika, dan Indonesia menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia.

Kita bisa mulai dari visi ini untuk memetakan langkah dan pendekatan agar human capital kita meningkat. Yang perlu kita lebih detail lagi adalah bagaimana Indonesia ingin dikenal.

Kita ingin unggul di bidang apa? Apakah kita ingin menjadi leading sector di bidang kecerdasan buatan, bioteknologi, dan lain sebagainya.

Ini bisa mulai pemimpin pikirkan bersama supaya bisa lebih terarah dalam meningkatkan human capital kita. Sambil jalan, kita perlu memperbanyak solusi inovatif untuk meningkatkan human capital di Indonesia dan memperbaharui pendekatan kita.

Ada dua pendekatan yang bisa kita lakukan. Pertama dengan mendorong program pendidikan berbasis informal-komunitas. Kita bagi menjadi dua: pendekatan berbasis komunitas atau organisasi dan start-up. Kita mulai dari yang pertama.

Pendekatan komunitas bisa menyasar akar rumput untuk menyediakan akses dan pengajaran pendidikan. Terlebih, semakin tinggi jenjangnya, semakin turun tingkat partisipasinya.

Komunitas bisa menjadi aktor yang mengakselerasi pendidikan di akar rumput dan berfokus pada pendidikan karakter yang menyambut keberagaman.

Dalam Integritas Pendidikan Nasional tahun 2022, indikator karakter peserta didik meraih angka 69,56. Komunitas - komunitas di Indonesia bisa fokus bagaimana mendidik dan mengembangkan anak muda agar termotivasi, jujur, mengedepankan kolaborasi, menyambut keberagaman, toleran, dan pantang menyerah.

Banyak anak muda yang sekarang bergerak untuk menanamkan pola pikir dan karakter yang tepat tentang pendidikan.

Yasser Muhammad membuat komunitas Matahari Kecil untuk menyediakan pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu. Mereka fokus pada kemampuan - kemampuan yang relevan dan bermanfaat bagi anak muda ke depannya.

Rumah Belajar Pelangi Nusantara juga fokus memberikan akses pendidikan gratis kepada anak-anak yang kurang mampu.

Menurut Valentina Sastrodihardjo, founder dari Rumah Pelangi, pendidikan adalah hak semua orang. Oleh karena itu, dorongan moral membuatnya menciptakan komunitas Rumah Pelangi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com