Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lulusan Perguruan Tinggi Dominasi Lapangan Kerja di Perkotaan

Kompas.com - 26/09/2023, 08:41 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Prof. Anwar Sanusi menyampaikan kondisi dunia kerja Indonesia saat ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.

Perguruan tinggi ini, kata dia, memiliki peran penting dalam ketenagakerjaan, karena konsekuensi setelah lulus perkuliahan adalah masuk ke dunia kerja.

Baca juga: Pasar Tanah Abang Sepi, Pakar UI: Barang dari Impor Jauh Lebih Murah

Data yang dimiliki Kemenaker menyatakan lulusan perkuliahan masih mendominasi lapangan pekerjaan di perkotaan. Artinya, mereka yang sebetulnya dari desa, dan diberikan kesempatan pendidikan ke kota, jarang kembali lagi ke desanya.

"Nah kami berkomitmen untuk menjadikan desa ini sebagai pusat-pusat ekonomi, sehingga terjadi relasi antara desa dan perkotaan," kata dia dikutip dari laman UGM, Selasa (26/9/2023).

Dia menyebut, sebanyak 75,63 persen lulusan universitas memilih bekerja di perkotaan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023.

Hal ini tentu berimplikasi pada program pengembangan desa oleh pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Bahkan, jika dilihat dalam konteks segmentasi jenis pekerjaannya, 86,91 persen pekerja berpendidikan tinggi hanya tersebar di sektor formal tersier, seperti bidang perdagangan dan jasa.

Sedangkan sektor primer, seperti pertanian yang justru menjadi tumpuan kesejahteraan masyarakat dari segi bahan pangan mengalami penurunan.

Anwar mengatakan, terjadi de-agrikulturisasi dalam distribusi pekerja lulusan universitas. Jika terus dibiarkan, produksi pangan dikhawatirkan melemah dan krisis pangan akan terjadi.

"Data ini kalau diagregatkan dengan seluruh data ketenagakerjaan sebenarnya agak berbeda. Mayoritas masyarakat banyak yang bekerja di sektor informal, terutama masyarakat pedesaan," tegas dia.

"Nah, mereka ini kelompok rentan karena tidak mendapat perlindungan dan hak-hak ketenagakerjaan. Tapi pengalaman ketika pandemi, sektor ini lebih bisa survive daripada sektor formal. Bahkan ketika sektor formal sedang tidak beroperasi," tambah Anwar.

Selain itu, sektor sekunder yang sebenarnya memiliki potensi besar pun juga kurang diminati oleh lulusan perguruan tinggi.

Anwar menekankan, contoh paling besar adalah dinamika di bidang pertanian, di mana intervensi dan program pengembangan yang dilakukan masih belum cukup untuk mengangkat potensi sektor pertanian desa.

Hambatan tersebut dinilai cukup berisiko dalam menghadapi bonus demografi penduduk di 2045, ketika 72 persen penduduk memasuki usia produktif.

Sebagai contoh, Jepang itu sudah 49 tahun produktif. Artinya, sedikit lagi negara Jepang akan memasuki masa penduduk usia tua. Sehingga masyarakatnya hanya sedikit yang produktif.

"Nah, ini menjadi sebuah isu. Kalau kita bisa mengelola dengan baik akan menjadi berkah, kalau tidak akan menjadi musibah. Pertama, kalau seandainya periode keemasan ini bisa kita lakukan dengan baik, maka ketika dependency ratio ini meningkat, kita memiliki akumulasi saving yang cukup," jelas Prof. Anwar.

Selain segmentasi sektor pekerjaan dan produktivitas, isu ketenagakerjaan lain muncul jika melihat tren pekerjaan di kelompok Gen Z.

Baca juga: Kemendikbud: Ini Perbedaan Seleksi Guru PPPK 2023 Dibanding Sebelumnya

Saat ini berbagai sektor pekerjaan, khususnya perkantoran menerapkan sistem Digital Nomad atau Work From Anywhere (WFA). Pekerja tidak dituntut untuk menetap di kantor, melainkan dibebaskan bekerja di mana saja selama terhubung dengan internet.

Bahkan beberapa praktik dilakukan selama bertahun-tahun bekerja di luar kantor, lalu memutuskan tinggal di tempat tujuan tersebut. Metode ini banyak diminati oleh Gen Z di sektor pekerjaan tersier perkotaan.

Lanjut dia mengatakan, Gen Z jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, itu jauh sekali perbedaannya. Mereka memiliki kemampuan digital knowledge dan bahasa asing yang luar biasa, tapi mereka tidak loyal.

"Makanya konsep yang kita usung dalam ketenagakerjaan adalah paid based on hours. Ini yang sebenarnya mencoba diberikan oleh UU Ketenagakerjaan. Jadi, bukan melemahkan, tapi justru mengantisipasi ke depannya, bahwa nantinya pekerja tidak lagi dibayar sesuai upah bulanan, melainkan per jam," jelas Prof. Anwar.

Penyesuaian sistem tersebut tentunya tidak bisa dilakukan secara cepat dan mudah, mengingat masyarakat sudah terbiasa dengan sistem upah bulanan.

Tentunya, perlu adanya perumusan sistem yang lebih baik sesuai dengan kondisi yang ada.

Baca juga: Kemendikbud: Sistem Zonasi Dihapus Tidak Selesaikan Masalah PPDB

Melalui langkah ini, sistem ketenagakerjaan diharapkan mampu membentuk masyarakat produktif yang mendapatkan jaminan penuh atas kesejahteraan dan hak-hak tenaga kerjanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com