BEBERAPA waktu lalu, dunia pendidikan dibuat garuk-garuk kepala dengan kasus siswa SMP belum lancar membaca. Kasus itu terjadi di salah satu SMP di Pangandaran, Jawa Barat. Sebanyak 29 siswa-siswi didapati belum lancar membaca.
Saya pribadi lebih melihat persoalan ini seperti borok yang akhirnya tercium juga sakitnya. Hal tersebut dapat diperhatikan bersama pada kolom komentar akun yang mengunggah pemberitaan itu, selalu saja ada yang mengeluhkan hal serupa.
Artinya, persoalan siswa SMP belum lancar membaca terindikasi juga terjadi di sekolah lain, hanya saja belum/tidak terekspos.
Perkara yang selalu ditempelkan pada kasus-kasus seperti ini secara umum adalah lewat pertanyaan, “Kok bisa naik dan lulus sampai SMP?”
Kalau kita pahami bersama, posisi guru dan sekolah sangatlah dilematis. Misalnya dalam pandangan psikologis, memutuskan peserta didik agar tinggal kelas merupakan langkah tidak efisien. Malah akan membuat peserta didik depresi dan tertekan (malu).
Dalam banyak kasus, hal tersebut lebih sering menurunkan motivasi belajar. Selain itu, mengulang pembelajaran dan materi yang sama pada tahun lanjutan, tidak menjamin anak jauh lebih mengerti.
Kemudian dari segi ekonomi, ada beban biaya sekolah. Orangtua harus mengeluarkan biaya tambahan hanya untuk proses belajar materi yang sama secara berulang. Terlebih lagi bagi keluarga ekonomi rendah, tentunya berpotensi menambah pelik pengeluaran keluarga.
Kedua dasar pikiran tersebut juga didukung banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa tinggal kelas tidak memberikan manfaat signifikan untuk peserta didik, bahkan cenderung memberikan dampak buruk terhadap persepsi diri peserta didik (Jacobs & Mantiri, 2022; OECD, 2020; Powell, 2010).
Dari sini nampak jelas, alasan dasar mengapa sekarang sekolah lebih memilih pengoptimalisasian belajar lewat cara alternatif, seperti pengedepanan diagnostik awal, asesmen formatif, pembelajaran diferensiasi, refleksi, hingga catatan akhir saat raportan pada guru jenjang berikutnya.
Cara alternatif tersebut secara konsep tidak bermasalah, hanya saja kurang tepat bila diadopsi pendidikan Indonesia.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.