Berkaca pada Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, No 262/M/2022 Tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran, ada delapan kriteria.
Yakni laporan kemajuan belajar, laporan pencapaian project penguatan profil pelajar Pancasila (P5), portofolio peserta didik, paspor keterampilan untuk SMK/SMA, prestasi akademik dan nonakademik, ekstrakurikuler, penghargaan peserta didik, dan tingkat kehadiran.
Dengan adanya kriteria tersebut, sebenarnya terdapat celah atau ruang yang bisa digunakan sebagai afirmasi atas pilihan siswa tidak naik kelas.
Namun justru di situlah puncak dilematisnya. Terkadang dalam banyak keadaan, justru faktor sosiologi dan kapitalisasi akan mendahului semuanya, bahkan bisa lebih mendominasi dalam sikap asesmen.
Contohnya di sekolah swasta terutama pinggiran, tidak menaikkan siswa selalu terbentur dengan kalkulasi citra sekolah di masyarakat. Terlebih lagi bila si siswa telah aktif menjalankan kewajiban transaksionalnya, yakni bayar SPP.
Dalam banyak kasus, sekalipun siswa belum mencapai tujuan pembelajaran dasar seperti calistung, hanya akan disikapi dengan belas kasih dan pemakluman. Itu terlihat jelas pada slogan lulus 100 persen saat Ujian Nasional masih diterapkan.
Kemudian pada sekolah negeri. Ini semakin rumit. Sekolah negeri bila sampai didapati ada siswa tidak naik kelas, konsekuensi struktural menjadi pertaruhan yang tidak bisa dihindari.
Mulai dari wali kelas, kepala sekolah, pengawas, hingga kepala dinas pendidikan akan dapat sorotan masyarakat. Karena dari masyarakat sendiri, ada tuntutan dan harapan luar biasa pada tubuh sekolah negeri.
Demi menghindari hal semacam itu, jalan pragmatis lebih sering diambil lewat jual beli bocoran soal, sogok-menyogok pengawas ujian, katrol nilai, dsb,
Selain itu, satu hal yang sering jadi pijakan utama dalam persoalan ini adalah slogan “ketimbang ribet jadinya dinaikan saja”.
Saya pernah dapat cerita dari salah satu teman yang bersikukuh untuk tidak menaikkan siswanya. Alasannya nakal, suka buat onar, belum bisa berhitung, membaca tidak lancar, terlebih lagi berani melawan.
Hambatan dan tantangan atas pilihan teman saya ternyata tidak sesederhana dalam bayangannya. Perselisihan justru meruncing di ruang guru, terutama dari wali kelas dan kepala sekolah.
Teman saya seketika langsung diinterogasi. Sudah melakukan penanganan apa saja pada siswa bersangkutan? Mana bukti administrasi, analisis, absensi, dsb?
Teman saya tentunya kurang bisa menjawab banyak hal-hal semacam itu, akibatnya jalan yang diambil “ketimbang ribet jadinya dinaikan saja”.
Konsekuensi-konsekuensi atas pilihan semacam itu terkadang seperti jalan keluar instan dengan pertimbangan “kebaikan bersama”. Satu kesalahan menyelamatkan semuanya.
Siswa dinaikkan, akan membuat orangtua senang, wali kelas bahagia, kepala sekolah bangga, pengawas lega, dinas pendidikan sampai kementerian akan dicap berhasil. Namun tumbal untuk semua itu sudah pasti, apa yang sebenarnya didapat oleh siswa?
Kasus siswa SMP belum lancar membaca perlu dipahami pada tataran lebih luas. Bukan hanya sekadar hubungan guru dengan siswa.
Melihat kondisi pendidikan Indonesia, mulai dari kesiapan atribut, proses implementasi kurikulum, hingga kesediaan tenaga profesionalitas, semua berpotensi menjadi penyebab.
Apapun pencapaian pendidikan harus dievaluasi sebagai kalkulasi support system. Kurang tepat bila selalu coba dilinierkan terhadap satu-dua penyebab, yakni guru beserta kompetensinya.
Kita sebagai bangsa lupa bahwa guru tetaplah pemain yang membutuhkan support system sosial, materi, dan psikologis.
Sekolah-sekolah di Indonesia belum berani mengatakan "iya, kami juga salah". Kami dalam perspektif ini tentunya adalah keluarga, kepala sekolah, ketua yayasan, pengawas pendidikan, hingga aturan dan kebijakan dari kementerian.