Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Siswa Belum Bisa Calistung: Dilematis Guru dan Sekolah

Saya pribadi lebih melihat persoalan ini seperti borok yang akhirnya tercium juga sakitnya. Hal tersebut dapat diperhatikan bersama pada kolom komentar akun yang mengunggah pemberitaan itu, selalu saja ada yang mengeluhkan hal serupa.

Artinya, persoalan siswa SMP belum lancar membaca terindikasi juga terjadi di sekolah lain, hanya saja belum/tidak terekspos.

Perkara yang selalu ditempelkan pada kasus-kasus seperti ini secara umum adalah lewat pertanyaan, “Kok bisa naik dan lulus sampai SMP?”

Kalau kita pahami bersama, posisi guru dan sekolah sangatlah dilematis. Misalnya dalam pandangan psikologis, memutuskan peserta didik agar tinggal kelas merupakan langkah tidak efisien. Malah akan membuat peserta didik depresi dan tertekan (malu).

Dalam banyak kasus, hal tersebut lebih sering menurunkan motivasi belajar. Selain itu, mengulang pembelajaran dan materi yang sama pada tahun lanjutan, tidak menjamin anak jauh lebih mengerti.

Kemudian dari segi ekonomi, ada beban biaya sekolah. Orangtua harus mengeluarkan biaya tambahan hanya untuk proses belajar materi yang sama secara berulang. Terlebih lagi bagi keluarga ekonomi rendah, tentunya berpotensi menambah pelik pengeluaran keluarga.

Kedua dasar pikiran tersebut juga didukung banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa tinggal kelas tidak memberikan manfaat signifikan untuk peserta didik, bahkan cenderung memberikan dampak buruk terhadap persepsi diri peserta didik (Jacobs & Mantiri, 2022; OECD, 2020; Powell, 2010).

Dari sini nampak jelas, alasan dasar mengapa sekarang sekolah lebih memilih pengoptimalisasian belajar lewat cara alternatif, seperti pengedepanan diagnostik awal, asesmen formatif, pembelajaran diferensiasi, refleksi, hingga catatan akhir saat raportan pada guru jenjang berikutnya.

Cara alternatif tersebut secara konsep tidak bermasalah, hanya saja kurang tepat bila diadopsi pendidikan Indonesia.

Seperti pembelajaran diferensiasi, dengan jumlah siswa per kelas mencapai 30-40 siswa, tentu akan sangat merepotkan dan cenderung kurang efektif. Karena pada dasarnya ada ketentuan ideal dari konsep pembelajaran diferensiasi tersebut, yang menjadi ruh utama implementasinya.

Lalu diagnostik awal, cara ini juga rentan penuh akal-mengakali ilmu psikologi anak. Bagaimanapun, lulusan pendidikan dan keguruan Indonesia bekal ilmu psikologinya sangatlah terbatas.

Sekalipun terdapat mata kuliah psikologi pembelajaran, diagnostik awal merupakan konsep yang lain dan lebih intim.

Berkolaborasi dengan guru BK, misalnya, tetap saja akan kewalahan. Berapa ketersediaan guru BK pada tiap sekolah? Ditambah lagi, proses anak belajar sangatlah dinamis, yang setiap waktu mengalami perubahan.

Kemudian, catatan akhir pada guru berikutnya saat raportan. Solusi ini juga dinilai banyak pengamat pendidikan dan guru tidak efektif.

Bila pada tahap A siswa belum dapat dikatakan lulus, sedangkan dia diharuskan ke tahap berikutnya, bukankah itu hanya akan menambah beban guru di jenjang berikutnya?

Sekalipun diterapkan pembelajaran diferensiasi untuk kasus ini, tetap akan memunculkan ketimpangan di unit kelas. Bila diteruskan, bisa jadi nanti guru di SMA masih saja mengajarkan bagaimana calistung dasar dipahami.

Ketakutan itu sekarang terbukti dengan adanya kasus siswa SMP ternyata belum lancar membaca.

Mungkin dari beberapa solusi alternatif di atas, yang bisa dioptimalisasi pada pendidikan Indonesia adalah asesmen formatif dan sikap refleksi.

Bukan tanpa sebab, kalau kita perhatikan lebih dalam, basis sample dari alternatif tersebut adalah penelitian yang dilakukan pada kondisi sekolah di luar negeri, di mana atribut pendukung pendidikannya sudah selesai.

Artinya, ada perbedaan objek dan ruang lingkup dalam kasus ini. Perlu ada pemilahan dan penyesuaian.

Puncak dilematis guru dan sekolah

Berkaca pada Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, No 262/M/2022 Tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran, ada delapan kriteria.

Yakni laporan kemajuan belajar, laporan pencapaian project penguatan profil pelajar Pancasila (P5), portofolio peserta didik, paspor keterampilan untuk SMK/SMA, prestasi akademik dan nonakademik, ekstrakurikuler, penghargaan peserta didik, dan tingkat kehadiran.

Dengan adanya kriteria tersebut, sebenarnya terdapat celah atau ruang yang bisa digunakan sebagai afirmasi atas pilihan siswa tidak naik kelas.

Namun justru di situlah puncak dilematisnya. Terkadang dalam banyak keadaan, justru faktor sosiologi dan kapitalisasi akan mendahului semuanya, bahkan bisa lebih mendominasi dalam sikap asesmen.

Contohnya di sekolah swasta terutama pinggiran, tidak menaikkan siswa selalu terbentur dengan kalkulasi citra sekolah di masyarakat. Terlebih lagi bila si siswa telah aktif menjalankan kewajiban transaksionalnya, yakni bayar SPP.

Dalam banyak kasus, sekalipun siswa belum mencapai tujuan pembelajaran dasar seperti calistung, hanya akan disikapi dengan belas kasih dan pemakluman. Itu terlihat jelas pada slogan lulus 100 persen saat Ujian Nasional masih diterapkan.

Kemudian pada sekolah negeri. Ini semakin rumit. Sekolah negeri bila sampai didapati ada siswa tidak naik kelas, konsekuensi struktural menjadi pertaruhan yang tidak bisa dihindari.

Mulai dari wali kelas, kepala sekolah, pengawas, hingga kepala dinas pendidikan akan dapat sorotan masyarakat. Karena dari masyarakat sendiri, ada tuntutan dan harapan luar biasa pada tubuh sekolah negeri.

Demi menghindari hal semacam itu, jalan pragmatis lebih sering diambil lewat jual beli bocoran soal, sogok-menyogok pengawas ujian, katrol nilai, dsb,

Selain itu, satu hal yang sering jadi pijakan utama dalam persoalan ini adalah slogan “ketimbang ribet jadinya dinaikan saja”.

Saya pernah dapat cerita dari salah satu teman yang bersikukuh untuk tidak menaikkan siswanya. Alasannya nakal, suka buat onar, belum bisa berhitung, membaca tidak lancar, terlebih lagi berani melawan.

Hambatan dan tantangan atas pilihan teman saya ternyata tidak sesederhana dalam bayangannya. Perselisihan justru meruncing di ruang guru, terutama dari wali kelas dan kepala sekolah.

Teman saya seketika langsung diinterogasi. Sudah melakukan penanganan apa saja pada siswa bersangkutan? Mana bukti administrasi, analisis, absensi, dsb?

Teman saya tentunya kurang bisa menjawab banyak hal-hal semacam itu, akibatnya jalan yang diambil “ketimbang ribet jadinya dinaikan saja”.

Konsekuensi-konsekuensi atas pilihan semacam itu terkadang seperti jalan keluar instan dengan pertimbangan “kebaikan bersama”. Satu kesalahan menyelamatkan semuanya.

Siswa dinaikkan, akan membuat orangtua senang, wali kelas bahagia, kepala sekolah bangga, pengawas lega, dinas pendidikan sampai kementerian akan dicap berhasil. Namun tumbal untuk semua itu sudah pasti, apa yang sebenarnya didapat oleh siswa?

Semua berpotensi menjadi penyebab

Kasus siswa SMP belum lancar membaca perlu dipahami pada tataran lebih luas. Bukan hanya sekadar hubungan guru dengan siswa.

Melihat kondisi pendidikan Indonesia, mulai dari kesiapan atribut, proses implementasi kurikulum, hingga kesediaan tenaga profesionalitas, semua berpotensi menjadi penyebab.

Apapun pencapaian pendidikan harus dievaluasi sebagai kalkulasi support system. Kurang tepat bila selalu coba dilinierkan terhadap satu-dua penyebab, yakni guru beserta kompetensinya.

Kita sebagai bangsa lupa bahwa guru tetaplah pemain yang membutuhkan support system sosial, materi, dan psikologis.

Sekolah-sekolah di Indonesia belum berani mengatakan "iya, kami juga salah". Kami dalam perspektif ini tentunya adalah keluarga, kepala sekolah, ketua yayasan, pengawas pendidikan, hingga aturan dan kebijakan dari kementerian.

Sehingga setiap kali ada persoalan pendidikan terutama pencapaian belajar siswa, selalu guru, guru, guru, dan guru yang disasar evaluasi. Itukan kekeliruan mengakar yang terwariskan.

Salah satu contoh kasus, mungkin ini banyak terjadi di sekolah Indonesia. Kondisi perpustakaan, koleksi bacaan, kultur literasi, dan akses diskusi di suatu sekolah begitu minim, bahkan nyaris penuh akal-mengakali.

Tidak jarang juga, perpustakaan justru menjadi ruang paling akhir yang menjadi pertimbangan nilai setelah kamar mandi.

Setelah diasesmen nasional, angka literasi sekolah tersebut begitu rendah. Dalam banyak kasus, justru yang diinstruksikan ikut pelatihan literasi adalah para guru. Di mana logika berpikirnya?

Contoh lainnya, pada pendidikan digital. Saat semua wacana mengatakan pendidikan digital itu penting, akses informasi itu penting, sikap kritis itu penting, ternyata didapati di sekolah tersebut jaringan internet saja terbatas, siswa juga dilarang membawa seluler, sekalipun siswa membawa seluler saat dibuat pembelajaran malah terkendala kuota, sekolah tidak memberi wifi gratis.

Dan dengan polosnya saat ada pelatihan pendidikan digital, lagi dan lagi cuma gurunya yang dibebankan agar belajar menyesuakan perkembangan zaman.

Dari sini nampak begitu jelas bahwa pendidikan Indonesia masih terlalu sempit memandang peran, proses, dan evaluasi pendidikan. Guru dan siswa apapun alasannya, tetap merupakan subjek yang butuh support system sosial, psikologi, dan ekonomi.

Asesmen formatif dan refleksi

Seperti yang saya katakan di awal, hanya asesmen formatif dan refleksi relevan—yang bisa kita optimalkan dalam menyikapi hasil pencapaian peserta didik.

Terkadang, kita perlu mencoba mengkritik kinerja diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum mencoba menyalahkan unit-unit di luar diri kita.

Sebagai satu kesatuan sistem yang utuh, terkait, dan saling memengaruhi, subjek-subjek pendidikan sudah sepantasnya setiap kali ada persoalan dan masalah wajib mengedepankan fungsi dan peran pribadinya masing-masing.

Kita siapa? Peran kita apa? Seharusnya kita bagaimana? Dan kita sudah melakukan apa?

Refleksi-refleksi semacam itu perlu ditanamkan pada diri kita sebagai subjek-subjek hidup sebuah sistem.

Bila memang ada kesalahan pada tataran sistem, aturan, dan kebijakan, sudah suatu keharusan subjek itu sendiri yang melampauinya, membenarkannya, menertibkannya, dan mengoptimalisasikannya. Karena memang subjek hiduplah yang memunyai hak sekaligus kewajiban sepenuhnya atas semua itu.

Pada kasus siswa SMP belum lancar membaca, kurang tepat bila hanya guru yang dikambinghitamkan. Perlu evaluasi dan kontrol bersama, mengapa hal itu sampai terjadi.

Lebih tidak tepat juga bila langsung justifikasi sepihak pada si siswa. Semua perlu didudukkan bersama.

Siswa yang kedapatan belum bisa calistung, wajib mendapat perhatian dan pendampingan yang lebih intens sedini mungkin. Konsep adil tidak harus sama, perlu diterapkan pada persoalan-persoalan semacam ini.

Bagaimanapun, calistung adalah fundamental dasar dalam pengajaran di sekolah. Sangat tidak rasional memakai dalil belas kasih, sedangkan harga fundamental pembelajaran tergadaikan, tersisihkan, dan terabaikan.

Kita kasihan pada siswa hari ini, justru pada masa depan siswa tersebut jauh lebih terlihat kasihan.

Oritentasi citra juga perlu diminimalisasi. Apakah sekolah sebatas kalkulasi untung rugi? Bukankah sekolah dan pendidikan adalah upaya kemanusiaan dalam merawat peradaban manusia?

Ini sebagai renungan kita bersama. Sudah sejauh mana kita telah jujur dan bertanggung jawab dalam peran dan pekerjaan yang sudah kita pilih dan jalani?

https://www.kompas.com/edu/read/2023/08/18/131518071/siswa-belum-bisa-calistung-dilematis-guru-dan-sekolah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke