Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hardiknas 2023, Guru Besar Unesa Beri Catatan Transformasi Pendidikan PAUD-SD

Kompas.com - 02/05/2023, 14:39 WIB
Albertus Adit

Penulis

Sumber Unesa

KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) melakukan transformasi di satuan pendidikan PAUD dan SD.

Adapun salah satu misinya ialah memperbaiki miskonsepsi tentang baca, tulis, hitung (calistung) dengan meniadakan tes calistung di tingkat PAUD ke SD.

Guru besar PGSD Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Prof. Dr. Suryanti, M.Pd., memberikan respons positif.

Menurutnya, tes calistung sebagai persyaratan masuk SD menjadi penghalang bagi anak yang seharusnya mendapat hak untuk belajar 9 tahun.

Baca juga: Ki Hadjar Dewantara, Perjalanan Kariernya Hanya demi Pendidikan Indonesia

"Memang tidak perlu seleksi, yang penting anak itu punya kesiapan belajar, cukup umur, jadi sudah dirasa punya kematangan mental, kemandirian, itu sudah cukup," ujarnya dikutip dari laman Unesa, Senin (1/5/2023).

Bagi dia, keharusan menguasai calistung dinilai menjadi beban tersendiri bagi anak. Sebab, pada masa usia dini hingga SD awal, semestinya mereka diajari untuk mandiri dan dapat bersosialisasi dengan teman sebayanya.

Selain itu juga diajari mengenal diri sendiri serta bermain yang menyenangkan. Bermain dalam dunia anak adalah bagian dari proses belajar itu sendiri.

Tantangan ke depan

Sedangkan terkait transformasi di jenjang PAUD dan SD, ada semacam tantangan yang perlu menjadi perhatian bersama ke depan.

1. Dunia belajar anak terlalu dipenuhi dengan tuntutan orang tuanya. Seharusnya, menyekolahkan anak itu bukan berdasarkan kebutuhan orang tuanya, tetapi kebutuhan anak itu sendiri.

2. Masih banyak orang tua yang tidak memandang penting PAUD sehingga langsung memasukkan anaknya ke jenjang SD. Ini dapat berpengaruh terhadap kesiapan belajar anak termasuk adaptasi lingkungan dan belajar.

3. Tidak meratanya sekolah PAUD di daerah bahkan di desa.

4. Terlalu banyak waktu belajar bagi anak, sehingga waktu bermainnya sangat berkurang.

5. Orang tua terlalu menitikberatkan kepada sekolah untuk tumbuh dan kembangnya anak. Padahal, lingkungan pendidikan anak itu tidak hanya di sekolah, tetapi juga di masyarakat dan di lingkungan keluarga.

Baca juga: Sejarah Hari Pendidikan Nasional, Kamu Sudah Paham?

Semua sorotan tersebut salah satunya disebabkan karena kurangnya pemahaman orang tua terhadap pendidikan atau kebutuhan pendidikan anak.

Masih banyak orang tua yang memaknai belajar itu harus memegang buku, pensil dan coret-coret, padahal belajar di usia dini itu sangat luas, dia tekankan sekali lagi dunia bermain bagi anak adalah dunia belajarnya sekaligus.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com