Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Akreditasi dan Masalah Keuangan Kampus di Daerah

Kompas.com - 07/03/2023, 16:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI LINGKUNGAN perguruan tinggi, akreditasi merupakan mandat konstitusi untuk memastikan penyelenggaraan layanan pendidikan dilakukan.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi, menyebutkan akreditasi adalah kegiatan penilaian untuk menentukan kelayakan Program Studi (PS) dan Perguruan Tinggi (PT) sesuai dengan Standar Pendidikan Tinggi, yaitu satuan standar yang meliputi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT), dan Standar Pendidikan Tinggi (SPT) yang ditetapkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada SNPT.

Pasal 3 ayat (1) Permendikbud No. 5 menyebutkan bahwa akreditasi terhadap PS dan PT dilakukan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT).

Ayat (2) menyebutkan bahwa peringkat akreditasi PS dan PT terdiri atas: a. Baik; b. Baik Sekali; dan c. Unggul.

Menurut Pasal 4, akreditasi untuk PS dilaksanakan oleh Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM), sedangkan akreditasi untuk PT dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

LAM meliputi LAM Pemerintah yang dibentuk oleh Menteri atas rekomendasi dari BAN-PT, dan LAM Masyarakat yang berbentuk hukum nirlaba, dibentuk oleh pemrakarsa yang terdiri atas organisasi profesi dan/atau asosiasi unit pengelola Program Studi berbadan hukum dari suatu rumpun, pohon, dan/atau cabang ilmu pengetahuan.

Dalam hal LAM belum terbentuk, maka akreditasi untuk PS diberikan oleh BAN-PT.

Tahapan akreditasi terdiri atas evaluasi data dan informasi; penetapan peringkat akreditasi; dan pemantauan dan evaluasi peringkat akreditasi.

Akreditasi PS dan PT dilakukan dengan menggunakan instrumen akreditasi yang terdiri atas Instrumen Akreditasi untuk PS, dan Instrumen Akreditasi untuk PT. Instrumen akreditasi disusun oleh LAM atau BAN-PT sesuai dengan ketentuan.

Menurut Kamanto Sunarto (2010), akreditasi bermanfaat untuk menjamin mutu PT dan PS, menjamin mutu tenaga kerja, dan informasi untuk pembinaan PT/PS seperti penentuan beasiswa/hibah.

Tak berdaya memenuhi SNPT

Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) adalah satuan standar yang meliputi Standar Nasional Pendidikan, ditambah dengan Standar Penelitian, dan Standar Pengabdian kepada Masyarakat, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam pelaksanaan tridharma Perguruan Tinggi.

Pasal 3 Permendikbut No.3 Tahun 2020 menyebutkan bahwa SNPT memiliki tiga tujuan.

Pertama, menjamin tercapainya tujuan Pendidikan Tinggi yang berperan strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan.

Kedua, menjamin agar aktivitas pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang diselenggarakan oleh PS dan PT di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mencapai mutu sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam SNPT.

Ketiga, mendorong agar Perguruan Tinggi di seluruh wilayah hukum NKRI mencapai mutu Pembelajaran, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat melampaui kriteria yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan.

Tentu saja apa yang dicita-citakan oleh pemerintah sebagaimana terungkap lewat peraturan tersebut sungguh mulia.

Namun, apa yang mulia dan ideal belum tentu dapat dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan pendikan tinggi, terutama PT, PS, badan penyelanggara PT, dan warga masyarakat, karena berbagai alasan.

Bukan rahasia lagi, sejauh ini banyak PT terutama di daerah, kelimpungan menghadapi akreditasi karena tak berdaya memenuhi 24 standar minimal terkait standar mutu pembelajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat yang ditetapkan pemerintah.

Perihal standar mutu pembelajaran, misalnya, pemerintah mewajibkan supaya PS memenuhi delapan standar, yaitu standar kompetensi lulusan; standar isi pembelajaran; standar proses pembelajaran; standar penilaian pembelajaran; standar dosen dan tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana (sarpras) pembelajaran; standar pengelolaan pembelajaran; dan standar pembiayaan pembelajaran.

Terkait standar mutu ini, umumnya PS di berbagai PT mengalami kesulitan untuk memenuhi standar dosen dan tenaga kependidikan (SDM), dan sarpras pembelajaran.

Pasalnya, pemenuhan kedua standar mutu ini mengandaikan ketersediaan dana yang nilainya tak kecil.

Kampus di daerah dikungkung masalah dana

Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, sampai akhir 2021 terdapat 4.593 PT di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, 1.489 PT berada di Pulau Jawa, l. 787 PT di Pulau Sumatera, 173 di Pulau Bali dan Nusa Tenggara, sisanya di pulau-pulai lain.

Pertanyaannya, mengapa PT (kampus) di daerah terkungkung oleh ketersediaan dana yang minim? Jawaban jujurnya karena kampus di daerah mengandalkan pendapatannya hanya pada uang kuliah yang dihimpun dari para mahasiswa.

Terkait uang kuliah, kampus-kampus daerah selalu berada dalam posisi serba sulit. Pertama, karena jumlah mahasiswanya minim.

Sebagai gambaran, jumlah mahasiswa di seluruh Indonesia mencapai 7,6 juta orang. Apabila ditambah dengan mahasiswa PT di bawah Kementerian Agama yang berjumlah sekitar 1,1 juta orang, maka totalnya menjadi 8.7 juta.

Dari jumlah tersebut, terdapat 5,5 juta orang berada di delapan provinsi, yaitu Banten (1,4 juta orang), Jawa Timur (863.449 orang), Jawa Barat (826.727 orang), DKI Jakarta (698.268 orang), Jawa Tengah (601.618 orang).

Kemudian DI Yogyakarta (389.699 orang), Sumatera Utara (372.423 orang) dan Sulawesi Selatan (337.759 orang).

Sedangkan 28 provinsi lainnya, hanya memiliki sekitar 2,1 juta orang mahasiswa, berkisar dari 12.700 (Kalimantan Utara) hingga 177.767 orang (Sumatera Barat).

Kedua, perihal biaya kuliah. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa biaya kuliah terendah di kampus Indonesia sekitar Rp 2 juta/semester, tertinggi di atas Rp 20 juta.

Meski demikian, tak mudah bagi kampus di daerah untuk mematok biaya kuliah berbasis anggaran biaya pendidikan.

Pasalnya, kampus di daerah dikitari oleh orang tua/wali mahasiswa dengan kemampuan finansial yang rendah. Selain itu, penampilan fisik kampusnya tak cukup punya nilai jual tinggi.

Sementara itu, pihak yayasan sebagai penyelenggara kampus umumnya tak memiliki sumber pendanaan alternatif. Mereka tak bisa membuka unit-unit usaha karena iklim usaha di daerah yang belum kondusif.

Ironisnya, saat melakukan pengajuan ijin pendirian PT dan pembukaan PS ke Kemendikbudristek, pihak yayasan selaku badan penyelenggara PT mengklaim dirinya ‘sangat siap’ untuk membiayai operasi PT dan PS hingga lima tahun ke depan.

Namun, saat hendak diakreditasi, PT dan PS kebingungan, karena tak berdaya memenuhi banyak standar mutu yang telah ditentukan.

Dampaknya merembet ke mana-mana

Minimnya kekuatan dana kampus selalu berdampak ke mana-mana. Ia tak dapat menyediakan sarpras yang baik, tak dapat merekrut tenaga dosen bermutu, tak dapat membentuk dan membiayai Lembaga Penjaminan Mutu Internal yang bertugas menyusun dokumen SPMI, mengasesmen dan meningkatkan standar-standar mutu.

Ia juga tak dapat melaksanakan Tridharma PT, yaitu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat secara bermutu.

Ujung-ujungnya, kampus juga tak bisa menghasilkan lulusan dengan kompetensi yang dapat diandalkan.

Memiliki lulusan dengan kompetensi yang rendah akan membuat kampus kesulitan merekrut mahasiswa baru dalam jumlah memadai.

Apabila jumlah mahasiwa baru tak banyak, maka pendapatan kampus tak akan banyak juga. Begitu yang terjadi, semacam ‘lingkaran setan’ yang tak ada ujung atau jalan keluarnya.

‘Lingkaran setan’ tersebut menjadi momok yang menyeramkan, bagi seluruh sivitas akademika, terutama para pejabat struktural PT dan PS, serta para dosen tetapnya.

Pasalnya, dalam kenyataanya mereka tak leluasa untuk melaksana Tridharma PT, yaitu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat secara bermutu.

Dalam konteks akreditasi, kampus dengan jumlah mahasiswa yang kecil, kekuatan dana yang minim, sarpras yang tak memadai, SDM yang tak cukup kuat, dan aktivitas Tridarma PT yang tak berjalan secara semestinya, adalah momok .

Momok itu semakin menyeramkan ketika kampus melakukan persiapan akreditasi (mengisi dokumen instrumen akreditasi).

Jalan pintas yang biasa diambil adalah ‘merekayasa’ data; memoles atau mempercantik data yang buruk muka, dan membuat data yang tiada menjadi ada.

Dengan demikian, kampus menjadi lembaga yang kehilangan jati dirinya. Kampus yang sejatinya adalah tempat menggali ilmu pengetahuan dan membangun karakter kejujuran dan integritas diri, berubah rupa menjadi ajang berbohong dan mengarang.

Yang memprihatinkan, tak jarang berbohong dan mengarang ‘dibantu’ oleh oknum-oknum dari dunia pendidikan yang menyebut dirinya, konsultan pendidikan.

Dan, kampus yang ‘miskin’ itu harus mengalokasikan dana yang tak kecil nilainya untuk membiayai kegiatan ‘berbohong dan mengarang’ tersebut.

Bagaimana jalan keluarnya?

Oleh karena akar persoalannya adalah keterbatasan sumber dana, maka solusi yang diambil harus dari perspektif keuangan.

Dalam perspektif tersebut, pemerintah perlu mengkaji kembali kebijakan terkait ijin pendidikan PT dan pembukaan PS baru. Artinya, ketersediaan dana menjadi kriteria mutlak pendirian PT dan pembukaan PS baru.

Tim asesor perizinan harus memastikan bahwa pihak pengaju pendirian PT dan PS benar-benar memiliki dana riil, bukan bukti rekening yang bisa disiasti isinya.

Dalam perspektif anggaran pendidikan, pemerintah melalui Kemendibudristek perlu segera menerapkan kebijakan perampingan jumlah PT, entah melalui cara merger ataupun menutup PT dan PS yang nyata-nyata tak berdaya membiayai kegiatan operasionalnya dengan standar mutu minimal.

Pemerintah juga perlu menetapkan target waktu yang pasti dalam upaya pembinaan terhadap kampus-kampus bermasalah, terutama masalah finansial.

Langkah tersebut diperlukan agar kampus tidak terus berharap mendapatkan bantuan dana dari pemerintah, lalu tak berusaha sama sekali untuk mencari sumber pendapatan alternatif.

Langkah lain yang perlu dikembangkan oleh Kemendikbud adalah mengadakan sosialisasi secara massif kepada masyarakat dan pemerintah daerah untuk tidak berambisi mendirikan kampus PT kalau tak memiliki dana yang memadai.

Sebaliknya, Kemendikbudristek hendaknya tak lagi membuka ‘jendela’ bagi para politisi dan tokoh-tokoh masyarakat dari daerah melobi demi mulusnya proses perijinan pendirian PT dan pembukaan PS baru.

Sebab, proses perijinan PT dan pembukaan PS yang sekarang disebut sebagai ‘akreditasi pertama’ tak jarang menjadi ajang rekayasa data dan informasi dengan target mengantongi SK Pendirian PT dan Pembukaan PS baru.

Bukan hal mustahil kelompok ini beriktiar menjadikan kampus sebagai arena berbisnis demi meraup profit, bukan untuk memajukan pendidikan atau penyiapan generasi muda Indonesia yang berkualitas. Hal ini pun harus kita cegah!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com