Oleh: Sri Tiatri (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara) | Irene Apriani (Mahasiswa Magister Psikologi Profesi Universitas Tarumanagara)
KOMPAS.com - Emosi merupakan bagian dari hidup yang dialami sehari-hari. Seseorang dapat merasa kesal ketika terjebak kemacetan, merasa senang ketika berbincang dengan teman, atau merasa sedih ketika merindukan orang terkasih.
Emosi dapat berubah-ubah sepanjang hari dan terkadang tidak selalu disadari. Emosi dapat bertahan sejenak, tapi ada waktu di mana emosi menjadi intens dan bertahan lama, sehingga menghambat aktivitas yang sedang dikerjakan.
Pengalaman emosi adalah hal yang wajar. Misalnya merasa sedih ketika kehilangan, kecewa ketika mengalami kegagalan, ataupun rasa senang ketika mendapatkan hadiah.
Baca juga: Ini Biaya Kuliah S1 Aktuaria UI, UGM, ITB, UPH, dan UB
Namun, diperlukan keterampilan untuk mengolah emosi tersebut agar menjadi emosi yang sehat dan diekspresikan secara adaptif. Proses ini dikenal dengan istilah regulasi emosi.
Menurut Gross (2015) regulasi emosi merupakan suatu respon dalam menilai pengalaman emosi yang dirasakan dan berupaya untuk mengendalikan serta memodifikasi emosi tersebut untuk diekspresikan.
Di dunia teknologi digital masa kini, ponsel cerdas menjadi minat di kalangan masyarakat. Dengan adanya jaringan internet, ponsel cerdas menyediakan berbagai aplikasi yang bersifat menghibur bagi para penggunanya.
Penggunaan ponsel cerdas pun dinilai sebagai aktivitas yang menyenangkan sehingga menjadi strategi untuk mengalihkan atau menghindari emosi negatif (Trumello et al., 2018).
Berdasarkan teori regulasi emosi dari Gross (2015), penggunaan ponsel cerdas termasuk bentuk strategi distraksi.
Ketika seseorang merasakan emosi negatif, ia mengalihkan perhatian dari situasi tersebut ke aplikasi atau konten yang dinilai menghibur.
Strategi seperti ini dapat membantu mengatasi rasa frustasi pada diri dalam jangka pendek.
Namun, bila strategi ini dilakukan terus-menerus atau bahkan menjadi satu-satunya strategi yang dipakai maka secara kumulatif dapat merugikan atau membahayakan dalam jangka panjang (Wadley et al., 2020).
Baca juga: Sosiolog Unair: Kenaikan Harga Picu Masyarakat Berhenti Merokok
Ketika penggunaan ponsel cerdas menjadi berlebihan dapat mengarah menjadi penggunaan yang bermasalah. Indikator dari seseorang dengan permasalahan dalam penggunaan ponsel cerdas menurut Kwon et al. (2013), yaitu:
Penggunaan ponsel cerdas sebagai strategi meregulasi emosi tidak sepenuhnya salah.
Namun, perlu diingat bahwa adanya dampak jangka panjang yang dapat merugikan bila strategi ini menjadi satu-satunya cara yang dipakai.