Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syafbrani ZA
Penulis dan Konsultan Publikasi

Penulis Buku diantaranya UN, The End..., Suara Guru Suara Tuhan, Bergiat pada Education Analyst Society (EDANS)

Cyber Bullying dan Minimnya Penguatan Hak Anak di Era Digital

Kompas.com - 18/12/2022, 09:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT peluncuran Rencana Aksi Nasional Peningkatan Kesejahteraan Anak Usia Sekolah dan Remaja (RAN PIJAR), Menko PMK Muhadjir Effendy mengingatkan kembali data yang pernah dirilis UNICEF pada 2020.

Disampaikannya bahwa sepanjang tahun tersebut hampir separuh anak Indonesia menjadi korban perundungan di dunia maya atau cyber bullying. Tepatnya sebesar 45 persen.

UNICEF telah merinci berbagai contoh dari cyber bullying yang sering mendera anak-anak. Baik yang berdampak memalukan, menyakitkan psikis, menjengkelkan perasaan, ataupun mengancam jiwa.

Intinya tetap sama dengan perundungan, hanya medianya adalah media digital, baik berwujud teks, foto, atau video.

Hanya saja, meskipun konteksnya adalah sama-sama melakukan aksi perundungan — sebagaimana yang dilakukan secara langsung — namun aksi cyber bullying bisa menyebabkan dampak berkepanjangan. Walaupun kasusnya sudah close atau sudah dilakukan deklarasi damai antara pelaku dengan korban.

Mengapa demikian? Penyebabnya tidak lain karena aksinya dilakukan melalui dunia digital. Akibatnya secara otomatis akan meninggalkan jejak-jejak digital pula. Jejak yang sulit dihilangkan. Bahkan akan terpajang abadi.

Parahnya lagi, jejak-jejak tersebut bisa menyebar dan bisa disaksikan oleh banyak orang. Kemudian, jejak itu menyebabkan perundungan menyebar kembali.

Padahal anak-anak tersebut mempunyai hak untuk hidup dengan damai dan aman. Bukan hanya di dunia nyata, tetapi juga saat mereka melakukan interaksi digital yang di antaranya melalui berbagai kanal media sosial.

Jika berkaca dari data yang pernah disajikan BPS, jumlah anak yang mengakses internet memang semakin meningkat. Usia 5- 12 tahun saja sudah sebanyak 13,32 persen, 13 -15 tahun sebanyak 7,23 persen, dan 16 -18 tahun sebanyak 8,12 persen.

Saat ini, akses internet tidak lagi menjadi sesuatu yang dianggap ‘luar biasa'. Masyarakat kita sudah hampir terbiasa dengan interaksi yang berlangsung secara digital.

Kondisi ini semakin terkonfirmasi dengan Statistik Telekomunikasi Indonesia 2021 yang di antaranya menemukan fakta 90,54 persen rumah tangga di Indonesia telah memiliki minimal satu nomor telepon seluler. Terjadi peningkatan yang signifikan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Misal pada 2018 yang telah mencapai 88,46 persen.

Memang, melarang generasi ‘digital native’ itu untuk keluar dari lingkungannya bukanlah pilihan tepat. Ditambah dengan kondisi yang saat ini telah menjadikan fasilitas internet sebagai kebutuhan primer.

Di samping sebagai media komunikasi yang bisa dilakukan secara tepat dan hemat waktu, koneksi anak-anak di jagat maya juga tidak bisa dilepaskan dengan proses belajar mengajar mereka.

Apalagi dengan hadirnya pandemi Covid-19 yang dianggap menjadi salah satu pemicu terjadinya percepatan adaptasi pembelajaran jarak jauh. Seperti tidak ada alasan lagi untuk menahan perselencarannya di dunia maya.

Di tengah semangat hadirnya digitalisasi pembelajaran, anak-anak bisa mendapatkan ‘guru’ sekaligus penjelasan yang apik hanya cukup dengan sekali klik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com