Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen UM Surabaya Bagikan 9 Cara Pulihkan Mental Korban KDRT

Kompas.com - 05/10/2022, 17:27 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Informasi terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pasangan Rizky Billar dan Lesti Kejora menjadi heboh belakangan ini.

Karena, informasi itu menjadi salah satu dari belasan ribu kasus KDRT yang tercatat di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Baca juga: Dosen Unair: Ini 4 Ciri Orang Punya Kesehatan Mental yang Baik

Hingga akhirnya, kasus itu banyak dikecam oleh kalangan publik.

Selain melanggar hukum, perilaku KDRT memiliki dampak yang sangat fatal bagi korban, baik secara fisik maupun secara mental.

Dosen Keperawatan Jiwa UM Surabaya, Uswatun Hasanah menjelaskan, dampak fisik dari KDRT dapat diobati dengan melakukan pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan.

Namun, dampak psikis (trauma) menjadi dampak menetap yang kapan saja bisa kambuh jika berada dalam situasi serupa, sehingga memicu munculnya ingatan dan pengalaman tidak menyenangkan saat mengalami KDRT.

Uswatun menjelaskan, trauma merupakan kondisi yang sulit untuk disembuhkan, butuh waktu yang lama bahkan bertahun-tahun agar korban KDRT dapat betul-betul terlepas dari rasa traumanya.

"Oleh sebab itu perlu segera dilakukan penanganan maupun pendampingan psikologis bagi korban KDRT agar tidak mengalami stress pasca trauma," ujar Uswatun dalam keterangannya, Rabu (5/10/2022).

9 cara pulihkan mental korban KDRT

Uswatun menyebut ada 9 cara yang dapat dilakukan untuk mendampingi proses pemulihan mental korban yang baru mengalami KDRT.

Baca juga: Kemendikbud Ristek Minta Pemda Angkat dan Bayar Gaji 293.860 PPPK Guru

Pertama, mengamankan diri korban KDRT ke tempat aman, termasuk dalam hal menjauhkan diri dari pelaku, sehingga perilaku KDRT tidak berlanjut.

Kedua, mencari dukungan penuh dari orang terdekat adalah salah satu faktor yang dapat menguatkan secara diri terutama secara psikis.

Ketiga, bercerita peristiwa yang dialami merupakan salah satu bentuk terapi.

"Tentu saja saat memutuskan untuk bercerita kita memilih orang yang tepat yang bisa dipercaya. Bercerita dapat dilakukan pada orangtua, sahabat, kelompok pendukung, maupun terapis," ungkap dia.

Keempat, menulis pengalaman atau kondisi traumatis yang pernah dialami.

Sebab, dengan menulis tekanan emosi dapat diluapkan, sehingga stres berkurang.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com