Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antonius Ferry Timur
Konsultan

Konsultan dan pemerhati pendidikan dasar, Direktur Yayasan Abisatya Yogyakarta

Wacana "Postcolonial" Dalam Pendidikan Merdeka Model Romo Mangun

Kompas.com - 22/08/2022, 18:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sekolah mestinya bukan lembaga diskriminasi yang berfungsi sebagai pasak pemecah-belah sosial, akan tetapi suatu cara hidup bersama.

Model Pendidikan Mangunan sebagai wacana postcolonial

Istilah postcolonial sebenarnya juga mengandung pengertian yang luas. Postcolonial tidak sekedar menyangkut hubungan antara penjajah (colonizer) dengan terjajah (colonized), negara-negara di Utara (Amerika Serikat) dapat pula dipandang sebagai penjajah bagi suku-suku asli Amerika (Indian).

Postcolonial seringkali juga meliputi negara-negara yang sudah merdeka atau orang-orang di dunia pertama yang minoritas, atau bahkan secara umum postcolonial digunakan untuk menandai sebuah posisi melawan imperialisme dan Eropasentrisme.

Ada banyak definisi tentang postcolonial, menurut Ziauddin Sardar dan Borin van Loon dalam Cultural Studies for Beginner (1997), poskolonial menganalisis fakta sejarah kolonialisme Eropa yang dilanjutkan dengan membentuk hubungan relasi antara Barat dan Timur setelah bekas jajahan memperoleh kemerdekaan mereka.

Postcolonial menggambarkan proses perlawanan dan rekonstruksi yang terus menerus dilakukan oleh Timur. Boehmer dalam Colonial and Post-Colonial Literature (1995) mengatakan bahwa sastra postcolonial melihat secara kritis hubungan kekuasaan yang acapkali terjadi dalam sistem kolonialisme yang terlihat dalam teks-teks sastra.

Sedangkan Ashcroft dan kawan-kawan dalam Empire Writes Back (1989) memakai istilah postcolonial untuk mencakup semua budaya yang terkena imbas kolonialisme dan imperialisme sejak zaman penjajahan hingga hari ini.

Model pendidikan Romo Mangun yang diwujudkannya dalam SD Eksperimental Mangunan dilatar-belakangi oleh keprihatinannya atas kenyataan bahwa pendidikan yang ada sangat kapitalistis dan kolonialistis, pendidikan tidak berpihak pada orang miskin. Lebih jauh dari itu, ia berusaha untuk mengembangkan wacana pendidikan yang postcolonial dengan metode mengajar yang sesuai budaya lingkungan anak dan perkembangan diri anak.

Wacana postcolonial itu dikembangkan dengan cara mengembalikan proses pendidikan sejati. Anak-anak sekarang ini tidak lagi diperlakukan sebagai anak, tetapi sebagai kader mini politik atau calon sumber daya, sedangkan guru tidaklah lebih daripada penatar, instruktur, birokrat, komandan, pawang.

Yang penting bagi guru, murid harus hafal segala jawaban buku pintar dan mendapatkan ijazah. Sejajar dengan itu, sekolah mesti dikembalikan menjadi milik si anak lagi. Anak harus dianggap, dinilai, didampingi, diajari sebagai anak. Bukan sebagai orang dewasa mini, prajurit mini, pegawai kecil, bawahan mini, atau kader kecil.

Guru pun harus dikembalikan fungsinya sebagai kakak, teman, fasilitator, dan kakek yang “bercerita” mengisahkan petualangan hidupnya. Ada dua cara pembelajaran yang dikembangkan di sana, dan keduanya saling melengkapi.

Pertama, belajar demi pemahaman. Jadi yang sungguh-sungguh mengharapkan pengembangan olah nalar (otak) si anak. Di sini anak harus diajak melatih diri untuk berpikir dan mengembangkan logika. Bertahap tentu saja, mengikuti fase-fase kemampuan anak, tetapi sungguh berpikir. Tidak mengikuti perasaan saja.

Kedua, merangsang anak suka bertanya. Apa pun boleh ditanyakan. Tolok ukur anak cerdas bukanlah dia yang dapat menjawab banyak pertanyaan/soal-soal dari orang lain, melainkan dia yang mampu dan berani mengajukan pertanyaan yang timbul dari dirinya itu sendiri.

Untuk itu, anak yang pandai bertanya mendapatkan nilai tinggi. Tentulah dari tahun ke tahun murid-murid harus dilatih mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berguna dan berharga, baik bagi dirinya sendiri maupun untuk teman-temannya, dan yang memekarkan daya nalarnya.

Dengan demikian, semangat anak untuk bertanya, mencari, bereksplorasi, meneliti dan sebagainya haruslah dihargai guru. Anak mesti didorong agar secara intensif mencari dan bereksplorasi untuk membangun pengetahuannya sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com