Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antonius Ferry Timur
Konsultan

Konsultan dan pemerhati pendidikan dasar, Direktur Yayasan Abisatya Yogyakarta

Wacana "Postcolonial" Dalam Pendidikan Merdeka Model Romo Mangun

Kompas.com - 22/08/2022, 18:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

YB MANGUNWIJAYA alias Romo Mangun seorang arsitek, budayawan, pekerja sosial yang diakhir hidupnya mendirikan SD Eksperimental Mangunan di Sleman, Yogyakarta.

Dalam berbagai kesempatan, ia selalu mengatakan, meskipun pendidikan memiliki tempat yang penting dalam hidup manusia, bahkan banyak orang yang menggantungkan perubahan sosial dan penyelesaian persoalan hidupnya lewat pendidikan, ironisnya pendidikan yang ada sekarang tidak mampu membawa perubahan apapun bagi kemajuan kemanusian, kebudayaan, dan kemasyarakatan.

Pendidikan yang berlangsung selama ini hanya mengabdi kepada pasar dan bergerak menurut logika kapitalisme. Dengan kata lain, pendidikan sekarang ini tidak supraordinatif tetapi subordinatif terhadap perubahan.

Baca juga: Komodifikasi Pendidikan dan Profesor Penghasil Zombie

Romo Mangun sudah mencoba membuat paradigma baru (nggiwar) yang keluar dari logika kapitalisme itu dengan memakai perspektif postkolonial.

Sejarah pendidikan Nusantara

Sistem sekolah impor Belanda datang dalam paket politik etis yang merasa wajib melunasi hutang-kehormatan bangsa Belanda terhadap Nusantara, yang telah dikeruk kekayaannya dan dijajah penduduknya, dengan mengangkat putera-puteri pribumi ke tingkat peradaban modern lewat penyekolahan Barat.

Itulah politik susila berkepala dua. Ada unsur susila pengakuan kekeliruan dan niat memperbaiki kesalahan dalam suasana hati mission sacree, tetapi tercampur dengan pemenuhan kebutuhan sumber-daya-manusia terpelajar bagi sistem industri dan perdagangan internasional demi pengisian kas kerajaan Nederland dengan harta berlimpah dari Nusantara.

Sebenarnya sistem pendidikan yang mengacu pada negara penjajah bukan hanya terjadi di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan Philip G. Altbach dalam buku The Postcolonial Studies Reader (disunting oleh Bill Ashcroft, Gareth Griffins, dan Helen Tiffin), neokolonialisme sebagian merupakan sebuah kebijaksanaan yang direncanakan dari negara-negara maju untuk mempertahankan pengaruhnya di negara-negara berkembang. Namun secara sederhana juga merupakan kelanjutan praktek masa lampau.

Neokolonialisme dapat cukup terbuka dan jelas, misalnya pembagian buku-buku teks asing di sekolah-sekolah negara berkembang, kurikulum dan administrasi pendidikan.

Pendidikan sekolah dan wacana kolonial

Dunia pengetahuan, ilmu, sains, dan seluruh aparat yang merakitnya tidaklah pernah dan tidak mungkin netral. Dunia pendidikan, historis-empiris, selalu menjadi instrumen para penguasa untuk mengosolidasi dan melegitimasi kemapanan mereka. Juga demi reproduksi sikap dan mental yang melestarikan dan memperkuat status-quo kekuasaan mereka.

Reproduksi kekuasaan itu direpresentasikan dalam bentuk penyeragaman kurikulum, mentalitas guru, metode pengajaran, buku pelajaran, dan sebagainya.

Maka sahlah pertanyaan yang amat fundamental: benarkah seluruh sistem, struktur, metodologi dan pembiayaan pendidikan yang faktual ada sekarang ini ini benar-benar demi pemekaran si anak agar menjadi dewasa, teremansipasi, sehingga dapat menyumbangkan kebaikan demi proses historis evolusi kemajuan sejati bangsa manusia?

Ataukah sekolah hanya mengalah menjadi subsistem yang mengabdi pada kekuatan-kekuatan ekstern politik industri, bisnis, uang dan pergelutan kekuasaan-kekuasaan yang darwinistik, sehingga dunia sekolah yang semula dimaksud untuk berbakti tanpa pamrih demi pendidikan anak kemudian berubah menjadi alat kekuasaan belaka, bahkan menjadi industri bisnis yang semakin tega, kejam, brutal dan tidak tahu malu.

Baca juga: Menggagas Pendidikan yang Memerdekakan

Kenaifan itu dalam tahun-tahun 1970-an didobrak terutama oleh dua tokoh pejuang penyadaran, Paulo Freire (Brasil) dan Ivan Illich (Meksiko). Paulo Freire, mahaguru filsafat dan ilmu pendidikan, terkenal oleh usaha besarnya Paedagogy for the Oppressed dan metode penyadarannya (conscientization).

Dari kodratnya pendidikan adalah pelibatan politik. Paulo Freire menganjurkan penyadaran para pendidik serta yayasan-yayasan sekolah tentang kedudukan dan peran sosiologis-politis itu, sehingga memberanikan diri untuk mencipta-baru suatu bentuk pendidikan alternatif yang melawan segala bentuk kekuasaan dan manipulasi si kuat kuasa kepada si lemah miskin. (Paulo Freire, 1985).

Ivan Illich lebih radikal menginginkan proses de-schooling, peniadaan radikal sistem sekolah (yang lazim dipraktikkan). Ia mencatat bahwa sistem sekolah praktis hanya menganak-emaskan suatu golongan siswa/mahasiswa yang relatif amat sedikit, tetapi minta tumbal tergusurnya anak-anak kaum bawah lemah miskin dari proses belajar yang menguntungkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com