Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waspada Penyakit Mata Glaukoma, Dokter Unair Ungkap Ciri-Cirinya

Kompas.com - 31/07/2021, 13:00 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ancaman kebutaan, menjadi masalah serius bagi masyarakat Indonesia.
Apalagi, di seluruh negara termasuk Indonesia, glaukoma merupakan penyebab kebutaan tertinggi kedua setelah katarak.

Berdasarkan data dari Pusat dan Informasi Kementerian Kesehatan RI sebanyak 2,78 persen gangguan penglihatan di dunia disebabkan oleh glaukoma.

Kejadian glaukoma secara global diperkirakan mencapai 76 juta di tahun 2020. Oleh sebab itu, penting untuk mengenal glaukoma lebih dalam dan bagaimana cara pencegahannya.

Dokter Spesialis Mata Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA),Maitri Anindita menjelaskan bahwa glaukoma merupakan kerusakan saraf mata yang ditandai dengan penyempitan lapang pandang, di mana tekanan bola mata merupakan faktor risiko yang utama.

Baca juga: Peneliti IPB Temukan Minuman Penurun Gula Darah Berbasis Rempah

“Tekanan bola mata yang meningkat dapat menyebabkan kerusakan saraf mata yang progresif dan permanen, sehingga kebutaan yang ditimbulkan juga bersifat permanen,” ungkapnya dilansir dari laman Unair.

Lebih lanjut Maitri menjelaskan bahwa peningkatan cairan di dalam bola mata itu terjadi karena adanya ketidakseimbangan produksi cairan dan jumlah yang dibuang.

Normalnya tekanan bola mata tidak lebih dari 20 mm air raksa. Namun pada penderita glaukoma tekanan bisa berada di atas angka tersebut.

Selain itu, glaukoma bisa juga disebabkan karena penyakit hipertensi maupun Diabetes melitus.

Glaukoma dikenal sebagai pencuri penglihatan dan ini sangat berbahaya karena penyakit ini sering tidak bergejala sehingga penderita terkadang tidak menyadarinya,” tandasnya yang juga sebagai dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair).

Gejala yang muncul pada glaukoma bisa berbeda-beda. Di antaranya yaitu penglihatan kabur, kemerahan pada mata, serta nyeri mata yang disertai mual dan muntah.

Kemudian terdapat lingkaran seperti pelangi ketika penderita melihat kearah lampu atau cahaya terang. Tidak hanya itu, penderita juga memiliki sudut buta atau blank spot.

Blank spot ini seperti melihat dengan memakai kacamata kuda, dimana dapat melihat lurus, tetapi penglihatan di sekelilingnya menjadi buram. Sehingga, penderita kalau jalan suka menabrak benda-benda yang ada di sekitarnya,” jelasnya yang juga sebagai alumni FK Unair. 

Baca juga: Pakar Unair Ingatkan Bahaya Bawang Putih Saat Obati Hidung Tersumbat

Glaukoma tidak bisa disembuhkan. Pengobatan yang bisa dilakukan adalah menggunakan obat tetes mata maupun obat minum yang dianjurkan oleh dokter spesialis.

Hal itu ditujukan untuk mengontrol tekanan bola mata, sehingga tekanan bola mata yang terkontrol akan memperlambat kerusakan saraf mata, sehingga hal itu bisa mencegah terjadinya kebutaan.

“Semakin awal diagnosis glaukoma ditegakkan, maka secepatnya kerusakan saraf mata bisa dicegah, dengan hal ini berarti menyelamatkan tajam penglihatan pasien,” ungkapnya.

Untuk pencegahan, bisa melakukan pemeriksaan mata secara rutin kepada profesional adalah hal yang dianjurkan.

Pada orang dengan usia di bawah 40 tahun dapat melakukan pemeriksaan mata setiap dua atau empat tahun sekali.

Baca juga: 10 Sarjana Tertua di Dunia, Bukti Pendidikan Tak Dibatasi Usia

Pada usia 40 sampai 60 tahun dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mata setiap dua atau tiga tahun sekali. Sementara untuk usia di atas 60 tahun dianjurkan melakukan pemeriksaan mata setiap satu atau dua tahun sekali.

”Ingat, glaukoma yang tidak segera ditangani akan menurunkan penurunan penglihatan yang dapat memicu kebutaan permanen,” tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com