Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ahmad Rizali
Pemerhati pendidikan

Pemerhati pendidikan, Kabid Pendidikan NU Circle, dan Presidium Gernas Tastaka

Kondisi Darurat "Pembodohan Massal" SD dan MI Kita...

Kompas.com - 26/06/2021, 12:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Keterampilan dasar murid Indonesia dalam numerasi rendah. Dalam kurun waktu lebih 14 tahun terjadi penurunan dengan standar deviasi 25 persen.

Jika dibandingkan, keterampilan murid SMP kelas 1 di Indonesia tahun 2014 setara dengan ketrampilan murid SD kelas 4 di tahun 2000" (Amanda Beatty dan Daniel Suryadarma dalam International Journal of Educational Development, Vol 85 September 2021).

Sebetulnya makalah ilmiah tersebut hanya menguatkan fakta yang sudah diungkap berulang kali dalam uji PISA selama kurun waktu 18 tahun terakhir dan juga sejumlah studi Balitbang Kemendikbud secara mandiri.

Bahkan, jika cermat, kita akan lihat bahwa tidak hanya keterampilan numerasi saja yang memburuk, keterampilan membaca sudah kembali ke level tahun 2000.

Akibat pandemi Covid-19, dalam 8 bulan ketrampilan membaca murid Indonesia dalam skala PISA, akan turun 20 point (Yarrow, Massod dan Afkar, WB 2000), sementara itu tahun 2018 keterampilan membaca murid Indonesia berada di skala PISA 371.

Baca juga: Dana APBN 2021, Fokus Pendidikan untuk Tingkatkan Skor PISA, PAUD, dan Guru

Kondisi sudah darurat...

Dan dampak pandemi ini sudah melanda Indonesia melebihi 12 bulan...

Dari semua fakta akademis dan fakta lain yang memperkuatnya, tak ada yang lebih tepat jika kita menyimpulkan telah terjadi "pembodohan massal" dalam periode Orde Reformasi.

Ketika kita semua hiruk pikuk belajar demokrasi, ternyata pemerintah lalai mengendalikan penurunan mutu pendidikan dasar, sehingga hasilnya "kepintaran" murid SMP kelas 1 saat ini, hanya setara murid SD kelas 4 di awal reformasi.

Saya yakin jika saat ini kita ukur, bisa jadi sudah setara dengan murid SD kelas 3 di tahun 2000.

Saya tak yakin, pemerintah yang memiliki rarusan guru besar pendidikan dan ribuan guru kelas SD/MI yang kompeten, tidak mengetahui akar masalah "kebodohan" ini jika sejenak saja melakukan studi dan segera memutuskan "pengobatan" massal.

Saya beranggapan kondisi ini sudah darurat.

Selain asupan anak normal hanya 70 persen karena sisa 30 persen prevalensi stunting, jika tidak dibenahi, maka harapan memperoleh Generasi Emas, Bonus Demografi tahun 2045, dan PDB terbesar ke-4 dunia hanya impian kosong.

"Bonus Demografi" hanya akan menjadi "Malapetaka Demografi" karena keterampilan warga negara yang tidak produktif. Dan jika PDB sebesar 7,8 triliun USD dapat diperoleh maka lebih sepertiganya akan dipakai untuk membayar ongkos kebodohan ini (KPMG, UK 2015) dalam bentuk pelatihan dan persoalan sosial dan pengangguran.

Mampukah Merdeka Belajar menjawabnya?

Apakah kebijakan Merdeka Belajar mampu menjawab persoalan ini?

Jika "tren semakin bodoh" itu dapat menunggu selama sedikitnya 15 tahun, maka jawabannya adalah mampu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com