Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Growth Center
Powered by Kompas Gramedia

Sebagai bagian dari KOMPAS GRAMEDIA, Growth Center adalah ekosistem solusi yang memfasilitasi pertumbuhan organisasi dan individu untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka. Growth Center hadir untuk menjadi teman bertumbuh dalam mempercepat pertumbuhan dan transformasi melalui solusi sumber daya manusia berbasis teknologi yang teruji secara saintifik berdampak.

Kami meningkatkan pertumbuhan para individu melalui proses siklus yang berkelanjutan dari menemukan jati diri (discovery) hingga menyediakan pengembangan (development) yang diperlukan. Semua ini hadir dalam produk kami, Kognisi Discovery dan Kognisi Development untuk memfasilitasi individu untuk mengenal dirinya sendiri dan berkembang sesuai dengan keunikan (idiosyncrasy) mereka.

Silakan kunjungi situs kami www.growthcenter.id dan info kolaborasi lebih lanjut bisa kirim surel ke info@growthcenter.id.

 

Rendah Hati, Kunci Sukses Menghadapi Perubahan

Kompas.com - 08/05/2021, 07:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Andrea Lusi Anari*

KOMPAS.com - Intellectual humanity atau kerendahan hati intelektual menurut peneliti dan praktisi merupakan salah satu karakter yang dibutuhkan agar kita mampu cepat belajar dan beradaptasi dengan perubahan.

Mark Leary (dalam Resnick, 2019) mendefinisikan kerendahan hati intelektual sebagai kesediaan individu untuk mengakui bahwa pemahamannya mengenai berbagai hal sangat mungkin salah.

Ya, satu-satunya hal yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Dunia, dalam segala aspek kehidupan, selalu mengalami perubahan. Namun, perubahan yang kita alami hari ini tidak lagi bertahap, sedikit demi sedikit, tetapi bersifat eksponensial.

Jika kita berkilas balik kepada kehidupan kita setahun yang lalu, sebelum pandemi COVID-19 terjadi, kehidupan kita hari ini berubah drastis.

Cara kita bekerja, cara kita menjalankan bisnis, cara kita belajar, cara kita berbelanja, cara kita melakukan transaksi keuangan, bahkan cara kita berhubungan dengan orang lain pun berubah drastis.

Baca juga: 4 Ciri Orang Rendah Hati

Dalam kurun waktu satu tahun, kita telah menyaksikan begitu banyak perusahaan yang harus berhenti beroperasi karena tidak mampu bertahan menghadapi perubahan yang begitu dahsyat.

Namun, di sisi lain, kita juga melihat banyak bisnis-bisnis baru yang justru muncul karena adanya kebutuhan baru akibat dari perubahan ini. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan selalu menghadirkan paradoks: tantangan sekaligus kesempatan.

Kemampuan beradaptasi harus didukung oleh kemampuan untuk mempelajari dan menguasai hal-hal baru. Tak seorang pun pernah mengalami situasi pandemi ini. Referensi keberhasilan kita di masa lalu menjadi tidak relevan untuk menghadapi situasi ini.

Semua orang, baik sebagai individu maupun sebagai pemimpin organisasi atau perusahaan, dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan profesional, semua berada dalam status “belajar”.

Lalu, bagaimana caranya agar kita mampu cepat belajar dan mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut?

Donald Fan, Senior Director of Global Office of Future, Diversity & Inclusion di Walmart Inc., mengatakan bahwa dalam menghadapi situasi krisis dibutuhkan pemimpin yang memiliki intellectual humility atau kerendahan hati intelektual.

Dalam menghadapi kondisi yang penuh ketidakjelasan dan ketidakpastian, pemimpin yang rendah hati akan memiliki kesadaran diri, bersikap lebih autentik, terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, serta lebih mampu menghargai kontribusi orang lain.

Oleh sebab itu, mereka lebih punya keyakinan untuk mengatasi krisis, lebih mampu memahami kebutuhan organisasi sehingga lebih mampu membuat keputusan-keputusan yang tepat.

Selaras dengan hal tersebut, Marshall Goldsmith, seorang executive leadership coach dan penulis buku, mengatakan bahwa pemimpin yang sukses memiliki karakteristik tertentu, salah satunya adalah kerendahan hati intelektual.

Untuk dapat bertumbuh, kita harus memiliki kerendahan hati untuk mengakui bahwa selalu ada ruang di dalam diri kita yang bisa kita perbaiki. Tanpa kerendahan hati, proses belajar tidak akan terjadi.

Tenelle Porter dan rekan-rekannya (2020) melakukan penelitian untuk mengetahui apakah kerendahan hati intelektual merupakan salah satu faktor psikologis yang dapat memprediksi mastery behaviors.

Mastery behaviors adalah sebuah terminologi yang diperkenalkan oleh Carol Dweck & Ellen Legget (1988), yaitu perilaku-perilaku yang mengarah pada akuisisi pengetahuan dan keterampilan baru, terutama terkait dengan bagaimana perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan dan bertahan setelah mengalami kegagalan.

Baca juga: Meningkatkan Kegigihan dengan Growth Mindset

 

Hasil penelitian Porter menunjukkan bahwa responden yang memiliki tingkat kerendahan hati intelektual yang tinggi lebih menunjukkan usaha untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan baru, atau pengetahuan dan keterampilan yang gagal mereka kuasai sebelumnya.

Responden yang memiliki tingkat kerendahan hati intelektual yang tinggi lebih banyak mencari tantangan, lebih berupaya untuk belajar, dan lebih mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan.

Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa kerendahan hati intelektual menjadi salah satu pendorong dalam proses belajar, dan pada akhirnya berkontribusi pada kinerja dan pencapaian.

Lalu, bagaimana agar kita dapat mengembangkan kerendahan hati kita?

Shane Snow, seorang jurnalis kawakan, penulis buku dan pemilik lembaga edukasi Snow Academy, memberikan rekomendasi langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kerendahan hati intelektual berdasarkan konsep Elizabeth Krumrei-Mancuso & S.V. Rouse.

Elizabeth Krumrei-Mancuso & S.V. Rouse (2016) menyatakan bahwa kerendahan hati intelektual memiliki empat komponen, yaitu menghormati sudut pandang orang lain, tidak memiliki kepercayaan intelektual yang berlebihan, melepaskan gagasan dan keyakinan dari identitas (ego), serta kesediaan untuk merevisi sudut pandang.

Menghormati sudut pandang orang lain, bukan perkara mudah. Terlebih jika kita berhadapan dengan orang yang tidak mampu menghormati pandangan orang lain juga. Apakah menghormati sudut pandang orang lain berarti juga harus menyetujui pendapatnya?

Tentu tidak. Kita bisa tetap berbeda pandangan. Kita dapat memperlakukan orang lain dengan rasa hormat, tanpa harus memiliki pendapat yang sama.

Untuk dapat melakukan hal tersebut, hal pertama yang dapat kita lakukan adalah mengidentifikasi nilai-nilai moral yang mendasari perilaku dan pemikiran orang tersebut, misalnya apakah ia orang yang menjunjung tinggi kejujuran, atau sebaliknya.

Dengan memahami fondasi moral orang tersebut, kita akan lebih mudah memahami latar belakang pemikiran dan gagasannya.

Kita juga dapat membangun empati dengan mendengarkan, mau memedulikan kisah pribadi orang tersebut sehingga kita dapat lebih mengerti cara pandangnya secara lebih kontekstual.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan membangun suasana yang nyaman dan aman secara psikologis melalui humor atau permainan.

Itu sebabnya banyak proses negosiasi dilakukan sambil bermain golf, atau melakukan kegiatan bersama lainnya yang menyenangkan. Dalam kondisi santai, diskusi dapat dilakukan tanpa tekanan dan ketegangan.

Selain itu, untuk dapat menghormati gagasan orang lain, kita perlu memahami adanya perbedaan latar belakang budaya. Snow menyarankan agar setidaknya kita pernah tinggal di luar daerah atau luar negeri dan mempelajari lebih banyak bahasa lain.

Baca juga: Langkah Awal Mengembangkan Kegigihan

 

Membaca buku-buku fiksi juga sangat disarankan. Serangkaian penelitian yang dilakukan oleh sekelompok psikolog dari Italia menunjukkan hasil bahwa membaca buku Harry Potter dapat mengurangi tingkat prasangka pelajar dan mahasiswa terhadap kelompok imigran atau pengungsi.

Komponen kedua yaitu tidak memiliki kepercayaan intelektual yang berlebihan. Kepercayaan intelektual yang berlebihan dapat terbentuk dari pengalaman-pengalaman kesuksesan (best practices) yang kita alami sehingga kita tidak mampu melihat kemungkinan adanya solusi yang lain.

Selain itu, pada umumnya orang tidak suka jika harus mengakui dirinya salah.

Hal ini disebabkan karena kebiasaan yang berlaku di lingkungan sosial kita adalah lebih memberikan penghargaan kepada yang “benar” bukan kepada yang “salah”, atau memberikan penghargaan kepada yang berhasil dan bukan kepada yang gagal.

Agar kita tidak terjebak membangun kepercayaan intelektual yang berlebihan, kita dapat mengembangkan growth mindsetpola pikir yang meyakini bahwa kemampuan dasar dapat dikembangkan melalui kerja keras dan dedikasi. Intelegensi dan bakat hanya merupakan modal awal saja.

Dengan mengembangkan pola pikir yang bertumbuh, kita tidak merasa terancam pada saat kita melakukan kesalahan atau mengalami kegagalan karena kita memiliki keyakinan bahwa kemampuan kita bisa diperbaiki atau dikembangkan.

Oleh sebab itu kita memandang kesalahan justru sebagai sarana pembelajaran. Lebih detail mengenai cara mengembangkan growth mindset, bisa dibaca di artikel “5 Cara Mengembangkan Growth Mindset”

Selain itu, kita juga dapat melakukan kebiasaan dengan menambahkan kalimat “saya bisa saja salah…” sebelum mengajukan argumentasi. Hal ini berguna untuk mengingatkan kita bahwa selalu ada ruang di dalam diri kita untuk melakukan kesalahan.

Komponen ketiga yaitu mampu memisahkan antara ego dan intelek. Maksudnya, kita mampu menyadari perasaan-perasaan yang menyertai di saat gagasan kita dipertanyakan atau ditolak, serta tidak memberikan respon berdasarkan perasaan-perasaan tersebut.

Ada beberapa langkah yang disarankan Snow untuk mampu melakukan ego separation.

Langkah awal yang dapat kita lakukan adalah mengenali ego kita sendiri dan hal apa saja yang membuat kita merasa tidak percaya diri. Langkah berikutnya, kita belajar mengidentifikasikan saat diskusi atau topik mulai menjadi personal.

Hal ini dapat dilakukan dengan memerhatikan perubahan—bisa berupa gesture (bahasa tubuh), emosi, pilihan kata—yang terjadi pada diri kita maupun orang lain.

Langkah lain yang dapat dilakukan adalah tidak melibatkan identitas kita saat mengeksplorasi gagasan, misalnya melibatkan identitas, seperti gender, posisi, atau afiliasi kita dengan komunitas atau organisasi tertentu. Hal-hal itu sering kali mengakibatkan bias dalam diskusi.

Komponen keempat yaitu kesediaan untuk merevisi sudut pandang. Hal ini secara alamiah dapat berkembang apabila kita sudah menguasai ketiga komponen yang telah dijelaskan sebelumnya.

Beberapa penelitian, termasuk penelitian yang dilakukan oleh Snow, menunjukkan bahwa orang yang melakukan perjalanan (travelling) ke dua atau lebih negara memiliki keterbukaan yang lebih tinggi untuk merevisi sudut pandang.

Mereka lebih memiliki fleksibilitas ide atau mampu memecahkan masalah dengan berbagai cara.

Berada di tempat baru yang tidak kita ketahui, jauh dari rumah, membuat kita kurang terkoneksi dengan identitas kita sehingga pikiran kita lebih terbuka untuk memikirkan kembali gagasan-gagasan kita.

Untuk dapat tetap relevan di era perubahan ini, tak dapat disangkal lagi bahwa kita perlu mengembangkan kerendahan hati intelektual.

Harapannya, kita mampu mengakuisisi pengetahuan dan keterampilan baru. Tanpa memiliki kerendahan hati, proses belajar di dalam diri kita tidak akan terjadi.

Lalu, sudahkah Anda memiliki kerendahan hati intelektual? Silakan cek dan klik di sini untuk tahu lebih lanjut.

(*Andrea Lusi Anari - Co-founder & COO Growth Center | Growth Center, HR Business Accelerator - membantu individu menemukan dan mengembangkan potensi diri, agar menjadi versi terbaik diri mereka. | Powered by Kompas Gramedia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com