Oleh karena itu, kita perlu menilik pengalaman bangsa di masa lalu dalam membangun sektor pendidikan untuk mengupayakan sekaligus menciptakan pendidikan yang baik bagi generasi kita di masa yang akan datang.
Sejarah mencatat bahwa sistem pendidikan di Indonesia sudah berjalan sejak masa kolonial Belanda, Jepang, hingga kemerdekaan. Ki Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh yang memiliki kepedulian tinggi akan pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa.
Dalam pemikirannya, pendidikan sejatinya harus memerdekakan manusia karena ia percaya bahwa setiap peserta didik memiliki kemampuan dan keunikan masing-masing sehingga model pengajaran haruslah bersifat student-centered dengan memberikan hak kepada peserta didik untuk menggali dan mengembangkan potensi yang mereka miliki.
Slogannya yang berbunyi Tut Wuri Handayani bukan hanya menempatkan pengajar sebagai pemberi dorongan dan motivasi kepada siswa untuk belajar pengetahuan dari guru saja, tetapi juga mengarahkan siswa untuk mencari pengetahuan lain secara mandiri.
Ki Hajar Dewantara juga menekankan pentingnya budi pekerti, karakter yang berbudaya dan humanis. Ia juga mengatakan bahwa pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh individu harus memiliki manfaat bagi diri sendiri, masyarakat, dan bangsa.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia tidak terlepas dari perubahan dan saat ini kita berada di era Revolusi Industri 4.0 dan 5.0 yang ditandai dengan internet-based, digitalisasi di banyak aspek kehidupan, ketersalinghubungan (interconnectedness), serta artificial intelligence.
Fakta ini sekaligus menjadi alarm bagi pemerintah dan lembaga pendidikan untuk berinovasi dalam rangka merespons perubahan zaman yang bisa terjadi kapan saja dan mencetak sumber daya manusia yang siap berkompetisi baik di tingkat nasional maupun global.
Mendikbud-Ristek RI, Nadiem Makarim menyebutkan beberapa kompetensi utama yang harus dimiliki oleh pegajar dan peserta didik kita di era sekarang antara lain kemampuan berpikir kritis (critical thinking), kreativitas (creativity), kolaborasi (collaboration), perasan (compassion), komunikasi (communication), dan logika komputational (computation logic).
Oleh karena itu, sudah saatnya kita meninggalkan kultur pendidikan yang menekan kemerdekaan siswa dan menciptakan sekolah sebagai ruang aman bagi siswa untuk mengembangkan potensi, kreativitas, serta keunikan mereka.
Selain itu, guru juga harus melakukan inovasi mental dengan memosisikan diri sebagai mentor (coach) yang secara partisipatif berperan untuk mengasah kemampuan bernalar siswa supaya mereka terbiasa menghadapi, menganalis, serta memecahkan suatu persoalan hingga menciptakan bentuk pengetahuan yang baru.
Pandemi Covid 19 juga telah mengajarkan kita bahwa kemampuan adaptif, kreativitas, dan belajar (willing to learn) merupakan basic skills yang harus dimiliki individu untuk siap menghadapi situasi sesulit apapun yang bisa terjadi kapan saja.
Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya pendidikan karakter berlandaskan ideologi negara Pancasila, karena masa depan suatu bangsa tidak serta merta bergantung pada kompetensi kolektif (collective competency), tetapi juga karakter kolektif (collective character).
Dengan kata lain, kompetensi akademik tanpa empati, kemanusiaan, moralitas, rasa cinta terhadap sesama, serta spiritualitas ini akan sia-sia karena sejatinya tujuan pendidikan adalah memberikan manfaat postif untuk sesama manusia.
Kutipan menarik dari Tan Malaka perlu kita refleksikan kembali: “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasaan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.”
Selain itu, Helen Keller mengatakan bahwa pencapaian tertinggi dari pendidikan adalah toleransi. Dalam konteks Indonesia yang multikultur siswa kita seharusnya bukan hanya sekadar belajar tentang toleransi terhadap perbedaan, tetapi juga belajar mencintai perbedaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.