Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Hoaks Info Kesehatan di WhatsApp, Ini Kata Dosen Unpad

Kompas.com - 11/03/2021, 10:00 WIB
Mahar Prastiwi,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Seiring perkembangan teknologi, informasi bisa menyebar dengan sangat cepat. Bahkan di peristiwa-peristiwa tertentu, banyak sekali berita tidak benar atau hoaks berseliweran di media sosial (medsos).

Termasuk dalam kondisi pandemi Covid-19. Ada beberapa berita yang tersebar di masyarakat, tapi belum tentu kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan.

Salah satu media yang kerap digunakan menjadi sarana menyebarkan berita hoaks adalah aplikasi WhatsApp.

Hal ini juga diamini oleh dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran Dr. Jenny Ratna Suminar, M.Si. Fenomena penyebaran informasi hoaks seputar kesehatan ini menjadi kajian bagi Jenny dan dosen Fikom Unpad lainnya, Dr. Purwanti Hadisiwi, M.Ext.Ed.

Berita hoaks kesehatan banyak disebar di WhatsApp

Keduanya mengkaji mengenai peran penangkis hoaks (hoax buster) dalam membendung informasi kesehatan yang beredar di grup WhatsApp.

“Penelitian ini berangkat dari fenomena kehidupan keseharian banyak orang. WhatsApp paling masif penggunaannya, sehingga peredaran informasi termasuk komunikasi kesehatan kenyataannya itulah yang terbanyak,” papar Jenny, seperti dikutip laman unpad.ac.id, Rabu (10/3/2021).

Baca juga: Madsaz, Aplikasi Penerjemah Tangisan Bayi Karya Dosen IPB

Jenny mengungkapkan, dari penelusuran yang dilakukan ke sejumlah orang diperoleh hasil hampir semua pengguna WhatsApp memiliki grup-grup percakapan. Bahkan, ada orang yang mempunyai minimal 10 grup di akun WhatsApp-nya. Hal ini akan mendorong pusaran informasi mengenai kesehatan masif terjadi.

Baby boomers rentan percaya berita hoaks kesehatan

Menurut Jenny, berita hoaks kesehatan sangat mudah dipercayai oleh pengguna media sosial. Apalagi dari kelompok usia 40 tahun ke atas. Jenny menganalogikan kelompok usia ini dengan istilah kelompok baby boomers atau digital immigrant di media sosial.

Baca juga: Apa itu Love Scam dan Upaya Pencegahannya? Begini Kata Dosen UGM

Kelompok ini, lanjut Jenny, rentan menelan beragam informasi kesehatan secara mentah-mentah. Padahal, informasi tersebut belum tentu benar. Kurangnya literasi penggunaan media sosial yang baik akan mudah memicu hoaks ini menyebar luas.

“Orang Indonesia sangat mudah menerima dan mengiyakan informasi yang belum tentu kebenarannya,” imbuh Jenny.

Selain kemampuan literasi yang kurang, masyarakat sering tidak melakukan konfirmasi ulang kebenaran informasi itu. Sehingga mendorong orang mudah percaya dan kembali menyebarkan hoaks tersebut ke grup WhatsApp lainnya.

Contohnya, banyak orang percaya mengonsumsi produk tertentu yang diklaim ampuh menyembuhkan penyakit. Padahal, belum ada sumber referensi ilmiah yang membenarkan klaim tersebut. Sejatinya, beragam informasi terkait kesehatan perlu dibarengi dengan bukti ilmiahnya.

“Kita sering menerima informasi, membacanya, lalu menyebarkan kembali tanpa dibarengi konfirmasi terlebih dahulu. Bahkan, ada orang yang menerima lalu melihat judulnya bagus, dan langsung disebar, tanpa dibaca isinya,” tegas Jenny.

Motif hoaks di WhatsApp

Pakar komunikasi kesehatan ini menjelaskan, ada beberapa motif yang bisa diidentifikasi apakah informasi tersebut benar atau hoaks.

Baca juga: Pakar UGM: Virtual Police Perlu Jaga Hak Digital Pengguna Medsos

1. Jika informasi itu berisi klaim bisa mengobati atau menyembuhkan penyakit serta diikuti dengan kalimat promotif yang bersifat anjuran. Klaim ini perlu ditelusuri kebenarannya dengan mencari bukti ilmiahnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com