Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 11/03/2021, 10:00 WIB

KOMPAS.com - Seiring perkembangan teknologi, informasi bisa menyebar dengan sangat cepat. Bahkan di peristiwa-peristiwa tertentu, banyak sekali berita tidak benar atau hoaks berseliweran di media sosial (medsos).

Termasuk dalam kondisi pandemi Covid-19. Ada beberapa berita yang tersebar di masyarakat, tapi belum tentu kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan.

Salah satu media yang kerap digunakan menjadi sarana menyebarkan berita hoaks adalah aplikasi WhatsApp.

Hal ini juga diamini oleh dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran Dr. Jenny Ratna Suminar, M.Si. Fenomena penyebaran informasi hoaks seputar kesehatan ini menjadi kajian bagi Jenny dan dosen Fikom Unpad lainnya, Dr. Purwanti Hadisiwi, M.Ext.Ed.

Berita hoaks kesehatan banyak disebar di WhatsApp

Keduanya mengkaji mengenai peran penangkis hoaks (hoax buster) dalam membendung informasi kesehatan yang beredar di grup WhatsApp.

“Penelitian ini berangkat dari fenomena kehidupan keseharian banyak orang. WhatsApp paling masif penggunaannya, sehingga peredaran informasi termasuk komunikasi kesehatan kenyataannya itulah yang terbanyak,” papar Jenny, seperti dikutip laman unpad.ac.id, Rabu (10/3/2021).

Baca juga: Madsaz, Aplikasi Penerjemah Tangisan Bayi Karya Dosen IPB

Jenny mengungkapkan, dari penelusuran yang dilakukan ke sejumlah orang diperoleh hasil hampir semua pengguna WhatsApp memiliki grup-grup percakapan. Bahkan, ada orang yang mempunyai minimal 10 grup di akun WhatsApp-nya. Hal ini akan mendorong pusaran informasi mengenai kesehatan masif terjadi.

Baby boomers rentan percaya berita hoaks kesehatan

Menurut Jenny, berita hoaks kesehatan sangat mudah dipercayai oleh pengguna media sosial. Apalagi dari kelompok usia 40 tahun ke atas. Jenny menganalogikan kelompok usia ini dengan istilah kelompok baby boomers atau digital immigrant di media sosial.

Baca juga: Apa itu Love Scam dan Upaya Pencegahannya? Begini Kata Dosen UGM

Kelompok ini, lanjut Jenny, rentan menelan beragam informasi kesehatan secara mentah-mentah. Padahal, informasi tersebut belum tentu benar. Kurangnya literasi penggunaan media sosial yang baik akan mudah memicu hoaks ini menyebar luas.

“Orang Indonesia sangat mudah menerima dan mengiyakan informasi yang belum tentu kebenarannya,” imbuh Jenny.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+