Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terkait Revisi UU ITE, Ini 3 Catatan PSHK FH UII

Kompas.com - 20/02/2021, 09:25 WIB
Mahar Prastiwi,
Albertus Adit

Tim Redaksi

1. Perlu dilakukan revisi terhadap UU ITE yang dilakukan secara komprehensif terhadap pasal-pasal yang mengandung makna multitafsir dan berpotensi mengekang demokrasi.

Pemuatan norma ke dalam suatu peraturan perundang-undangan harus dipastikan memenuhi beberapa asas, yakni asas dapat dilaksanakan dan kejelasan rumusan.

Baca juga: Kenapa Iklan di Medsos Bisa Sesuai Keinginan? Ini Penjelasan Akademisi UII

Allan menyampaikan, asas dapat dilaksanakan menghendaki bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat. Baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis.

Setiap produk hukum harus mematuhi asas kejelasan rumusan yang menghendaki bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus menggunakan pilihan kata atau terminologi.

"Selain itu bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Adanya penggunaan frasa yang bersifat multitafsir dalam UU ITE juga harus dijadikan bahan evaluasi, karena dalam praktiknya kemudian menimbulkan interpretasi beragam dan mengakibatkan penerapan pasal yang justru bersifat kontraproduktif dengan upaya dilakukannya pembatasan kebebasan berekspsresi tersebut," beber Allan.

2. Pembentukan panduan Kapolri terhadap penyelesaian kasus terkait UU ITE belum menyentuh akar permasalahan.

Panduan Kapolri yang salah satunya mengatur bahwa ketentuan pihak yang harus melapor adalah korban, hanya menyentuh upaya perbaikan di tataran impelementasi penegakan.

"Padahal, Due process of law atau proses hukum yang baik, benar, dan adil melingkupi tatanan yang lebih luas, yakni mulai dari tahapan pembentukan, proses, serta penegakan hukum," kata Allan.

3. Pilihan pengenaan pidana sebagai primum remidium perlu dievaluasi ulang.

UU ITE meletakkan sanksi pidana sebagai senjata utama (primum remidium) untuk menegakan larangan. Namun, karakter larangan dalam UU ITE tidak seluruhnya tepat dikenakan pidana.
Ada pasal yang menyangkut ranah privat. Seperti pasal penghinaan dan pencemaran nama baik yang semestinya ditempatkan dalam ranah perdata.

Baca juga: 9 Tips Skripsi Lancar Saat Pandemi Ala Alumni UII

Di sisi lain, pilihan penyelesaian pidana di luar peradilan menjadi opsi yang menarik diterapkan. Allan menambahkan, penjatuhan sanksi pidana kemudian menjadi pilihan terakhir yang dijatuhkan (ultimum remidium).

Hal ini untuk menghindari sifat sanksi pidana yang cenderung menestapakan pelaku dan berpotensi menciptakan ruang konflik lanjutan antar para pihak yang tidak memulihkan permasalahan.

"Pilihan revisi terhadap UU ITE tidak harus berasal dari DPR. Presiden sebagai salah satu lembaga pembentuk UU, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 juga berwenang untuk mengusulkan revisi terhadap UU ITE yang mendesak untuk segera dilakukan," tutup Allan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com