Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terkait Revisi UU ITE, Ini 3 Catatan PSHK FH UII

Kompas.com - 20/02/2021, 09:25 WIB
Mahar Prastiwi,
Albertus Adit

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Adanya usulan Presiden Joko Widodo untuk melakukan Revisi terhadap UU ITE saat ini tengah hangat diperbincangkan. Beberapa pakar pun mengemukakan pendapat mereka terkait kebijakan ini.

Terkait revisi UU ITE ini, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) memberikan pandangannya.

Ada 3 hal yang menjadi catatan PSHK FH UII terkait revisi UU ITE tersebut. Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII Allan F.G Wardhana, S.H., M.H mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi pengamatan PSHK FH UII, antara lain:

Perlu ditemukan jalan tengah

Menurut Allan, wacana revisi UU ITE sudah lama menyeruak dan tidak hanya menyangkut fenomena saling lapor diantara masyarakat. Di satu sisi, UU ITE dianggap memiliki dimensi positif sebagai sarana pembatasan bagi kebebasan berekspresi dalam ruang digital.

Namun di sisi lain, UU ITE dianggap negatif, karena adanya pembatasan tersebut, secara vertikal dianggap sebagai alat bagi penguasa untuk membungkam kritik masyarakat dan secara horizontal dianggap sebagai pemicu fenomena saling lapor melapor.

Baca juga: Akademisi UII: Ini Cara Mengelola Sampah Masker Sekali Pakai

"Adanya persinggungan antara pemberian ruang kebebasan dengan pembatasan tersebut menjadi dimensi yang perlu untuk ditemukan jalan tengahnya," papar Allan dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (19/2/2021).

Landasan memiliki konstitusional yang kuat

Allan menerangkan, adanya mekanisme pengaturan terhadap ruang kebebasan masyarakat untuk berekspresi ini sesungguhnya memiliki landasan konstitusional yang kuat.
Dinyatakan dalam ketentuan Pasal 28J UUD NKRI 1945 yang menentukan beberapa syarat.
Pembatasan harus dilakukan berdasarkan hukum (by law).

Pembatasan didasarkan pada alasan yang sah seperti ketertiban umum, kesehatan masyarakat, moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik, dan hak kebebasan orang lain atau hak atas reputasi orang lain. Pembatasan hak asasi harus dilakukan dalam rangka menjaga agar demokrasi berjalan dengan baik.

"Adanya pembatasan ini sesungguhnya juga sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut bangsa Indonesia, yakni demokrasi konstitusional (constitutional democracy) atau demokrasi berdasar atas hukum (democratische rechtstaat)," imbuh Allan.

Baca juga: Raih Nilai Tertinggi, Mahasiswa UII Juara 1 ERPsim

Pembatasan harus berdasarkan prinsip demokrasi

Dalam konteks UU ITE, lanjut Allan, pembatasan ini sudah sesuai dengan syarat di atas.
Namun yang menjadi permasalahan adalah, apakah pembatasan kebebasan yang diatur dalam UU ITE ini sudah didasarkan atas alasan yang sah dan sejalan dengan prinsip demokrasi?

Jika merujuk UU ITE, ada 7 pembatasan terhadap hak berekspresi seseorang. Yakni terhadap informasi elektronik yang memiliki materi muatan melanggar:

  • kesusilaan
  • perjudian
  • penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
  • pemerasan dan/atau pengancaman
  • ujaran kebencian berdasar SARA
  • ancaman kekerasan secara pribadi serta memiliki materi muatan yang dilarang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 40 ayat 2a)

Materi muatan yang kurang jelas

Allan mengungkapkan, adanya revisi UU ITE ini muncul satu problematik yakni terdapat kekaburan antara materi muatan yang dianggap penghinaan dengan yang dianggap sebagai kritik. Selain itu adanya anomali implementasi pasal yang justru mereduksi perlindungan terhadap hak asasi seseorang.

"Celah problematik ini membuka ruang kriminalisasi terhadap orang-orang atau badan yang sebenarnya ditujukan untuk mengekpresikan kritik atau untuk membela diri dan melindungi pribadi seseorang serta dijadikan sebagaimana data yang telah beredar," beber Allan.

Catatan PSHK FH UII

Allan menambahkan, terkait isu ini, Presiden Jokowi telah memberikan beberapa instruksi. Yakni mendorong DPR untuk melakukan revisi UU ITE. Memerintahkan Kapolri untuk merumuskan panduan penyelesaian kasus terkait UU ITE. Salah satu muatannya bahwa yang harus melapor adalah korban.

Ada 3 catatan yang dikemukakan PSHK FH UII sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan revisi terhadap UU ITE yang dilakukan secara komprehensif terhadap pasal-pasal yang mengandung makna multitafsir dan berpotensi mengekang demokrasi.

Pemuatan norma ke dalam suatu peraturan perundang-undangan harus dipastikan memenuhi beberapa asas, yakni asas dapat dilaksanakan dan kejelasan rumusan.

Baca juga: Kenapa Iklan di Medsos Bisa Sesuai Keinginan? Ini Penjelasan Akademisi UII

Allan menyampaikan, asas dapat dilaksanakan menghendaki bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat. Baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis.

Setiap produk hukum harus mematuhi asas kejelasan rumusan yang menghendaki bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus menggunakan pilihan kata atau terminologi.

"Selain itu bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Adanya penggunaan frasa yang bersifat multitafsir dalam UU ITE juga harus dijadikan bahan evaluasi, karena dalam praktiknya kemudian menimbulkan interpretasi beragam dan mengakibatkan penerapan pasal yang justru bersifat kontraproduktif dengan upaya dilakukannya pembatasan kebebasan berekspsresi tersebut," beber Allan.

2. Pembentukan panduan Kapolri terhadap penyelesaian kasus terkait UU ITE belum menyentuh akar permasalahan.

Panduan Kapolri yang salah satunya mengatur bahwa ketentuan pihak yang harus melapor adalah korban, hanya menyentuh upaya perbaikan di tataran impelementasi penegakan.

"Padahal, Due process of law atau proses hukum yang baik, benar, dan adil melingkupi tatanan yang lebih luas, yakni mulai dari tahapan pembentukan, proses, serta penegakan hukum," kata Allan.

3. Pilihan pengenaan pidana sebagai primum remidium perlu dievaluasi ulang.

UU ITE meletakkan sanksi pidana sebagai senjata utama (primum remidium) untuk menegakan larangan. Namun, karakter larangan dalam UU ITE tidak seluruhnya tepat dikenakan pidana.
Ada pasal yang menyangkut ranah privat. Seperti pasal penghinaan dan pencemaran nama baik yang semestinya ditempatkan dalam ranah perdata.

Baca juga: 9 Tips Skripsi Lancar Saat Pandemi Ala Alumni UII

Di sisi lain, pilihan penyelesaian pidana di luar peradilan menjadi opsi yang menarik diterapkan. Allan menambahkan, penjatuhan sanksi pidana kemudian menjadi pilihan terakhir yang dijatuhkan (ultimum remidium).

Hal ini untuk menghindari sifat sanksi pidana yang cenderung menestapakan pelaku dan berpotensi menciptakan ruang konflik lanjutan antar para pihak yang tidak memulihkan permasalahan.

"Pilihan revisi terhadap UU ITE tidak harus berasal dari DPR. Presiden sebagai salah satu lembaga pembentuk UU, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 juga berwenang untuk mengusulkan revisi terhadap UU ITE yang mendesak untuk segera dilakukan," tutup Allan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com