Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah Menyenangkan Jadi Kunci Menumbuhkan "Passion" Siswa

Kompas.com - 24/01/2021, 09:00 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

 

KOMPAS.com -  Sekolah menyenangkan menjadi kunci dan pondasi dalam menumbuhkan passion atau renjana siswa agar mereka secara mandiri memiliki keinginan kuat menggali dan menguatkan kompetensi yang mereka miliki.

 

"Ketika bangsa ini dituntut untuk membangun kualitas sumber daya manusia di era disrupsi teknologi, persoalan mendasar kita adalah kualitas SDM kita lemah," ungkap Muhammad Nur Rizal, pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM).

Keprihatinan ini disampaikan disampaikan Rizal dalam webinar "Gerakan Sekolah Menyenangkan bagi Sekolah Menengah Kejuruan" yang digelar Balai Besar BBPPMPV BOE Ditjen Vokasi Pendidikan Vokasi pada 23 Januari 2021.

"Kenyataannya, budaya dan sistem kita masih mendorong guru para penuntasan kurikulum. Sehingga, bukan pada proses berpikir kritis tapi hanya mengejar nilai dan ketuntasan materi," jelas Rizal.

Terkait hal itu, ia mendorong peran guru dan sekolah untuk mampu menemukan talenta dan passion siswa agar anak-anak memiliki daya juang.

"Belajar tanpa dipaksa, berempati tanpa pamrih, dan berprestasi tanpa stres karena dia (siswa) senang melakukannya," jelas Rizal. 

Oleh karenanya, sangat penting bagi sekolah untuk membangun gerakan sekolah menyenangkan seperti yang digagasnya. "Ketika anak senang belajar, mereka akan bereksplorasi sebanyak mungkin," tambahnya.

Baca juga: Pendidikan Vokasi Jadi Tumpuan UKM Indonesia

Transformasi hadapi era disrupsi

Dalam GSM, tantangan permasalahan SMK dalam dunia industri lebih luas dari kebutuhan terciptanya "link and match", melainkan perlunya dunia pendidikan menemukan kembali perannya agar manusia tidak tergantikan kemajuan teknologi kecerdasan buatan.

"Saat ini, Indonesia dan bahkan negara dunia sedang menghadapi era disrupsi yang mampu menggeser perubahan kompetensi di masa depan. Pada era ini akan banyak jutaan pekerjaan yang hilang dan tumbuh kembali yang bahkan kita tidak tahu definisinya," ungkapnya.

Kehadiran teknologi kecerdasan buatan, menurutnya berpotensi menggantikan beberapa pekerjaan yang ada saat ini. "Namun, di lain sisi, juga dapat memunculkan banyak kesempatan untuk mengeksplorasi hal baru dan berinovasi menciptakan peluang kerja baru," kata Rizal.

"Oleh karena itu, transformasi mendasar di bidang pendidikan, bidang yang berkaitan langsung dengan penyediaan sumber daya manusia di masa depan, perlu dipersiapkan ke arah tersebut," tegas Rizal.

Ia mengatakan perlu adanya proses pembelajaran ekosistem yang baru yang membuat manusia menemukan passion dan potensi terbaiknya, juga melahirkan kompetensi yang lebih adaptif, gesit dan mandiri.

"Sumber daya manusia dengan karakter inilah yang dibutuhkan dan lebih relevan dengan tantangan disrupsi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kita harus melakukan transformasi ini sedangkan era disrupsi sendiri sudah ada di depan mata," ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Rizal juga menyebut masih rendahnya kualitas pendidikan Indonesia seperti kemampuan literasi, membaca, dan numerasi yang dilihatnya masih stagnan selama kurang lebih 20 tahun sehak tahun 2000.

"Adanya indikasi ketertinggalan kualitas pendidikan hingga 50 tahun dari negara-negara yang diukur OECD dan juga dibuktikan data dari Kemendikbud bahwa kurang dari 2 persen kemampuan baca dan matematika yang dianggap tinggi," ungkap Rizal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com