Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mahasiswa soal Polemik “Anjay”: Banyak Hal Lain yang Lebih Penting

Kompas.com - 02/09/2020, 10:04 WIB
Elisabeth Diandra Sandi,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Sejak Sabtu (28/8/2020), istilah “anjay” sempat memenuhi pembicaraan di media sosial. Tak bisa dipungkiri, isu mengenai potensi pidana saat menggunakan kata “anjay” juga mengusik mahasiswa untuk urun pendapat.

Setelah mengamati isu ini beberapa hari, Priscila Winia merasa tidak setuju dengan isi dari rilis pers Komisi Nasional Pelindungan Anak (Komnas PA).

“Aku sendiri enggak setuju dengan masalah pelanggaran pidana penggunaan kata tersebut. Menurutku masih lebih banyak permasalahan lain yang lebih serius dan seharusnya lebih harus ditindaklanjuti,” ujar Priscila pada Selasa (1/9/2020).

Baca juga: Ini 3 Kegiatan Bermain Bahasa di Rumah bagi Anak PAUD

Menurutnya, kata “anjay” merupakan perkembangan dari kata kasar supaya terdengar lebih halus. Priscila menambahkan, kebanyakan orang juga menggunakan kata tersebut untuk menggantikan reaksi terhadap sesuatu yang membuat terpana.

Namun, Priscila tidak mendukung bila penggunaan kata tersebut bersamaan dengan tindakan yang buruk. Melakukan kekerasan fisik sambal mengeluarkan kata “anjay”, misalnya.

Terkait sanksi, mahasiswi Universitas Indonesia ini lebih menyarankan untuk memberikan teguran kepada orang yang menggunakannya dengan konotasi negatif.

“Dibandingin kita menegur seperti ‘lu enggak boleh ya ngomong gitu ya’. Akan tetapi, kita lebih bilangnya untuk coba tahu tempat dan waktu gitu, di mana kata tersebut boleh digunakan,” ucap Priscila.

Senada dengan Priscila, Charlenne Kayla Roeslie juga tidak menyetujui potensi hukuman pidana saat seseorang menggunakan kata “anjay”.

“Kalaupun mau diperkarakan gitu, pembuktiannya dari mana kalau emang si komunikator mau memaki? Jatuhnya subyektif banget,” ketik Charlenne saat dihubungi lewat Line pada Selasa (1/9/2020).

Baca juga: Mahasiswa, Kemendikbud Gandeng Provider Ini Hadirkan Kuota Murah

Mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara ini menganggap kalau penggunaan gaya bahasa tidak dapat menjadi masalah. Apalagi bila pemakaiannya sesuai dengan tempat, situasi, dan budaya setempat.

“Kasar enggak kasarnya suatu kata, pun, tergantung konteks. Misalnya, kata ‘tai’ gitu, kan sebenarnya sama aja sama kata ‘tinja’. Namun di masyarakat, ‘tinja’ dinilai enggak kasar dan "tai" dinilai kasar,” contohnya.

Melihat fleksibilitas dan peluang subjektivitas pemaknaan bahasa, Charlenne pun tidak mau bila hal ini menjadi aturan seperti beberapa pasal karet dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal karet merupakan sebutan dari sebuah pasal atau UU yang dianggap tidak memiliki tolok ukur yang jelas.

Mirip dengan pernyataan Priscila, Charlenne juga menyarankan Komnas PA untuk menangani masalah lain yang lebih penting nilainya.

“Kekerasan terhadap anak, misalnya. Lebih penting. Lebih urgent,” kata Charlenne.

Perkembangan Polemik Aturan Pidana Kata “Anjay

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com