Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Bunuh Diri di Sekitar Kita, di Antara Anak-Anak Remaja Kita

Kompas.com - 11/03/2020, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Selain itu, di kalangan ilmuwan Tanah Air, kebiasaan menghasilkan sebuah pemikiran panjang yang kontinyu, itu amat langka dilakukan ilmuwan Indonesia. Selain energi yang terkuras, biaya yang banyak dan hambatan wajar lainnya.

Semisal, waktu yang sudah tersita untuk kegiatan lain, sehingga menajamkan pemikiran dalam bentuk yang lebih terperinci menjadi sesuatu yang jauh panggang dari api.

Maka, konsistensi Dokter Nova patut diacungi jempol. Ia tekun. Bahkan dalam banyak peran publiknya yang lain Nova tak melupakan kerjanya yang “satu garis” ini.

Begitu lulus spesialisasi Kedokteran Jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2008, ia berpraktik sebagai psikiater di RSJ Soeharto Heerdjan, Grogol, Jakarta.

Kemudian, dalam perannya sebagai anggota legislatif Partai Demokrat sejak 2009, ia menggagas RUU Kesehatan Jiwa, yang kemudian berhasil disahkan menjadi UU Kesehatan Jiwa menjelang akhir masa jabatannya pada tahun 2014.

Ia tak lagi terpilih menjadi anggota legislatif periode berikutnya, tetapi tetap intensif mengawal implementasi Undang-Undang Kesehatan Jiwa 2014.

Tugas yang relevan dan simultan, karena ia mengetuai Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Seluruh Indonesia (PDSKJI) cabang DKI Jakarta.

Ia bergerak dalam upaya mengembangkan layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas. Dan, ia meneliti tentang topik bunuh diri (lagi) dalam jenjang pendidikan formal yang berikut. Studi doktoral di Fakultas Kesehatan Masyarakat yang saya ceritakan di awal tulisan ini.

Jelas, rangkaian ini menunjukkan kepedulian tingginya pada upaya pencegahan tindak bunuh diri di Indonesia.

Awal 2019, Nova memutuskan untuk membukukan penelitiannya yang pertama tentang bunuh diri. Penerbit Buku Kompas menyambut baik karena kepentingan dan kekuatan kasus dalam buku ini.

Maka, terbitlah Jelajah Jiwa, Hapus Stigma, Autopsi Bunuh Diri Dua Pelukis yang tidak lama lagi dengan mudah dapat diperoleh di toko buku.

Anak-anak Kita, Lindungi Mereka!

Penelitian bersambung Doktor Nova -2007 sampai dengan 2019- memberi pijakan penting. Pijakan yang justru ingin dimulainya dengan logika sederhana.

Upaya pencegahan Bunuh Diri harus dimulai dari tingkat pendidikan dasar: Sekolah Menengah tingkat Pertama dan Sekolah Menengah tingkat Atas.

“Saya mendorong dikuatkannya program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), sehingga ujungnya hadir sekolah ramah anak. Terutama sekolah yang ramah pada masalah kesehatan mental anak," kata Nova dalam jawabannya kepada salah satu penguji disertasinya saat itu.

Ia mencontohkan, antara lain bisa dilakukan lewat counseling dengan guru Bimbingan Karier (BK) yang selama ini bukan melakukan bimbingan mental-psikologi, tetapi hanya bimbingan karier. Ini masalah krusial yang dialami banyak milenial di negara-negara berkembang setara Indonesia.

Pertanyaan Nova berikutnya. Mampukah negara “menolong” dan melindungi mereka para “korban” suicide? Ingat, “korban”, tak harus meninggal dunia.

Nova menawarkan ide menarik, bahkan ini terobosan. Ia dengan tegas bilang, adalah melanggar hak asasi manusia (HAM), bila negara hanya menanggung jaminan kesehatan ini setengah-setengah.

Adalah sikap pilih-pilih yang akhirnya menjadi melanggar HAM, bila mereka tidak dilindungi atau dijamin. Akhirnya, ia mengajak, bila kita ingin mereformasi sistem kesehatan nasional, jangan setengah-setengah!

Khusus untuk kesehatan jiwa, usul trengginasnya: harus ada keberpihakan, hapus stigma dan sekali lagi, jangan setengah-setengah!

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com