Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bunuh Diri di Sekitar Kita, di Antara Anak-Anak Remaja Kita

KAGET? Begitu mudanya usia kematian global akibat bunuh diri? Kita tentu belum lupa, sebulan yang lalu media massa ramai memberitakan seorang anak perempuan usia 14 tahun melompat dari lantai empat sekolahnya, sebuah SMP di bilangan Cibubur.

Kisah pilu ini masih lekat dalam ingatan kita dan masih kasat dalam ingatan kita, bagaimana dalam beberapa hari media massa saling memberitakan cepat tanpa mengulik dalam.

Apa sebetulnya yang melatarbelakangi seorang remaja seumur itu bisa melakukan tindakan mengakhiri hidup sendiri?

Dengan sedih hati, kini kita hadapi kenyataan bahwa data ini bukan sekadar data. Ini kenyataan yang ada di hadapan kita. Saya menyoroti hilangnya empati kita sebagai bagian dari kecenderungan naiknya angka bunuh diri.

Belum lama, 11 Juli 2019, di kampus Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, saya pertama kali mendengar data ini dikeluarkan oleh Nova Riyanti Yusuf dalam sebuah ujian mempertahankan disertasi doktornya.

Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa ini mengampu penelitian doktor dalam bidang keilmuan Kesehatan Masyarakat berjudul “Deteksi Dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di SLTA Sederajat di DKI Jakarta”.

Topik yang tentu serta-merta membuat siapa saja di ruangan itu segera menajamkan perhatiannya.

Wah, ini tentang ide bunuh diri pada remaja, anak-anak kita! Begitu yang langsung muncul dalam otak saya.

Saya tergetar. Prihatin. Juga takut. Teringat dua anak lelaki saya yang juga telah berangkat remaja. Sudah begitu kuatkah ide bunuh diri merasuk hati anak-anak kita?

Dalam hasil penelitiannya ini Doktor Nova menjawabnya dengan lugas, tetapi juga hati-hati dan terukur. Itulah sebabnya ia beroleh nilai sangat memuaskan.

Pimpinan dewan peguji pun mencatatkan penelitiannya sebagai yang pertama untuk topik bunuh diri menggunakan pendekatan Kesehatan Masyarakat (Public Health).

Penelitian Nova juga menjadi kuat karena ada pijakan pendahuluan seperti yang ditulisnya dalam ringkasan disertasi. Bagaimana bunuh diri mengalami tren kenaikan dan dilakukan pada usia yang semakin muda. (Pengantar Penyunting Jelajah Jiwa Hapus Stigma, Penerbit Buku Kompas, 2020).

Betapa mudanya usia bunuh diri yang disebut WHO! 20 tahun. Indonesia tentu ada dalam kelompok negara-negara ini. Tapi, jangan kecil hati, kita bisa dan harus mampu mencegahnya.

Nova dan penelitian tentang bunuh diri, bagaikan dua simpul yang terikat erat. Seperti yang ia tuliskan dalam epilog buku ini, garis hidup sepertinya selalu melekatkannya dengan isu bunuh diri.

Mulanya, ia tertarik pada isu ini karena bacaan yang luas dan dunia kepenulisan yang dicintainya sejak kanak-kanak. Serentetan fakta ia temui, melengkapkan rasa ingin tahunya.

Beberapa penulis hebat idolanya mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Mereka adalah seniman. Maka, sebuah pertanyaan muncul dalam bilik pikir Nova. Apakah seniman memang lekat dengan bunuh diri?

Jelajah Jiwa Hapus Stigma

Bunuh diri memang topik yang amat jarang diangkat dalam sebuah penelitian ilmiah. Topik ini seperti harus menebus tabu yang tebal di kalangan masyarakat kita, tetapi sekaligus membuat kita minim pengetahuan.

Nova membongkar dan melawan tabu itu, sekaligus mengajak kita semua berada di garis depan pencegahan bunuh diri di Indonesia.

Selain itu, di kalangan ilmuwan Tanah Air, kebiasaan menghasilkan sebuah pemikiran panjang yang kontinyu, itu amat langka dilakukan ilmuwan Indonesia. Selain energi yang terkuras, biaya yang banyak dan hambatan wajar lainnya.

Semisal, waktu yang sudah tersita untuk kegiatan lain, sehingga menajamkan pemikiran dalam bentuk yang lebih terperinci menjadi sesuatu yang jauh panggang dari api.

Maka, konsistensi Dokter Nova patut diacungi jempol. Ia tekun. Bahkan dalam banyak peran publiknya yang lain Nova tak melupakan kerjanya yang “satu garis” ini.

Begitu lulus spesialisasi Kedokteran Jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2008, ia berpraktik sebagai psikiater di RSJ Soeharto Heerdjan, Grogol, Jakarta.

Kemudian, dalam perannya sebagai anggota legislatif Partai Demokrat sejak 2009, ia menggagas RUU Kesehatan Jiwa, yang kemudian berhasil disahkan menjadi UU Kesehatan Jiwa menjelang akhir masa jabatannya pada tahun 2014.

Ia tak lagi terpilih menjadi anggota legislatif periode berikutnya, tetapi tetap intensif mengawal implementasi Undang-Undang Kesehatan Jiwa 2014.

Tugas yang relevan dan simultan, karena ia mengetuai Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Seluruh Indonesia (PDSKJI) cabang DKI Jakarta.

Ia bergerak dalam upaya mengembangkan layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas. Dan, ia meneliti tentang topik bunuh diri (lagi) dalam jenjang pendidikan formal yang berikut. Studi doktoral di Fakultas Kesehatan Masyarakat yang saya ceritakan di awal tulisan ini.

Jelas, rangkaian ini menunjukkan kepedulian tingginya pada upaya pencegahan tindak bunuh diri di Indonesia.

Awal 2019, Nova memutuskan untuk membukukan penelitiannya yang pertama tentang bunuh diri. Penerbit Buku Kompas menyambut baik karena kepentingan dan kekuatan kasus dalam buku ini.

Maka, terbitlah Jelajah Jiwa, Hapus Stigma, Autopsi Bunuh Diri Dua Pelukis yang tidak lama lagi dengan mudah dapat diperoleh di toko buku.

Anak-anak Kita, Lindungi Mereka!

Penelitian bersambung Doktor Nova -2007 sampai dengan 2019- memberi pijakan penting. Pijakan yang justru ingin dimulainya dengan logika sederhana.

Upaya pencegahan Bunuh Diri harus dimulai dari tingkat pendidikan dasar: Sekolah Menengah tingkat Pertama dan Sekolah Menengah tingkat Atas.

“Saya mendorong dikuatkannya program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), sehingga ujungnya hadir sekolah ramah anak. Terutama sekolah yang ramah pada masalah kesehatan mental anak," kata Nova dalam jawabannya kepada salah satu penguji disertasinya saat itu.

Ia mencontohkan, antara lain bisa dilakukan lewat counseling dengan guru Bimbingan Karier (BK) yang selama ini bukan melakukan bimbingan mental-psikologi, tetapi hanya bimbingan karier. Ini masalah krusial yang dialami banyak milenial di negara-negara berkembang setara Indonesia.

Pertanyaan Nova berikutnya. Mampukah negara “menolong” dan melindungi mereka para “korban” suicide? Ingat, “korban”, tak harus meninggal dunia.

Nova menawarkan ide menarik, bahkan ini terobosan. Ia dengan tegas bilang, adalah melanggar hak asasi manusia (HAM), bila negara hanya menanggung jaminan kesehatan ini setengah-setengah.

Adalah sikap pilih-pilih yang akhirnya menjadi melanggar HAM, bila mereka tidak dilindungi atau dijamin. Akhirnya, ia mengajak, bila kita ingin mereformasi sistem kesehatan nasional, jangan setengah-setengah!

Khusus untuk kesehatan jiwa, usul trengginasnya: harus ada keberpihakan, hapus stigma dan sekali lagi, jangan setengah-setengah!

Saya sengaja menuturkan kait-kelindan pemikiran dan penelitian Nova dengan persoalan Kesehatan Jiwa Nasional, karena justru ingin mengajak semua tidak berpikir terkotak-kotak.

Bunuh diri adalah isu kesehatan jiwa, yang terkait erat dengan berbagai kebijakan negara pada kesehatan dan pendidikan nasional.

Seberapa perhatian negara pada masalah bunuh diri di kalangan remaja?

Kenapa melulu (dalam banyak hal) kita selalu mengharapkan negara terlebih dulu muncul, baru kemudian diikuti oleh peran-serta komunitas atau masyarakat yang peduli?

Bagaimana bila sebaliknya?

Prolognya tajam. Dan saya bersetuju dengan Nova, seprti tertulis dalam prolognya:

“Menangani bunuh diri adalah tantangan yang sangat berat. Tentu tidak cukup hanya memanfaatkan kajian-kajian yang saya buat, tetapi harus semakin banyak penelitian dilakukan tentang bunuh diri."

"Minimal penelitian-penelitian yang telah saya lakukan akan saya sebarluaskan ke semakin banyak pembaca dalam format yang lebih popular dan bahasa yang disederhanakan. Dengan demikian, akan semakin banyak pihak yang dapat membaca dan memahami tentang hal ikhwal bunuh diri.”

Saya mengagumi dan mengacungkan kedua jempol untuk minat, ketekunan dan energinya yang selalu ada dan kuat untuk isu bunuh diri di Indonesia. Lewat amatan saya yang selintas di awal saya menyunting naskah ini, ini langka, kalau mau tidak disebut sebagai yang pertama di Indonesia.

Penelitian yang panjang dan tidak bisa dianggap remeh dan dipandang sebelah mata. Penelitian yang ditempuh dengan kesabaran yang luar biasa.

Ketika banyak ilmuwan atau peneliti kesehatan masyarakat merasa isu ini harus ditutup-tutupi karena kengeriannya, maka Doktor Nova justru melihat ini sebagai picu untuk kita bisa maju ke depan.

Buku Jelajah Jiwa, Hapus Stigma, Autopi Psikologis Bunuh Diri Dua Pelukis, justru bisa menjawab pertanyaan, “Bagaimana sebaiknya kita (Indonesia) mencegah tindakan bunuh diri?”

Saya juga membayangkan buku ini bisa dibaca oleh banyak kalangan tidak terbatas pada pekerja seni, psikolog (juga mahasiswa psikologi), psikiater -juga PPDS (Pendidikan Profesi Dokter Spesialis), tetapi siapa saja yang dalam posisi sebagai orangtua, keluarga, teman, tetangga, pacar, suami/istri, dan lain-lain yang ingin lebih memahami tentang aspek biologis-psikologis-sosial bunuh diri.

Seperti judulnya, Nova mengajak pembaca buku ini melihat kasus bunuh diri sebagai misteri kehidupan yang dapat dicegah. Mari menelaah dulu jiwa seseorang, dan jauhkan memberi stigma pada apa yang dilakukan dalam hidupnya.

*****

Kontak bantuan

Bunuh diri bisa terjadi di saat seseorang mengalami depresi dan tak ada orang yang membantu. Jika Anda memiliki permasalahan yang sama, jangan menyerah dan memutuskan mengakhiri hidup. Anda tidak sendiri.

Layanan konseling bisa menjadi pilihan Anda untuk meringankan keresahan yang ada. Untuk mendapatkan layanan kesehatan jiwa atau untuk mendapatkan berbagai alternatif layanan konseling, Anda bisa simak website Into the Light Indonesia di bawah ini:
https://www.intothelightid.org/tentang-bunuh-diri/hotline-dan-konseling/

 

https://www.kompas.com/edu/read/2020/03/11/070000571/bunuh-diri-di-sekitar-kita-di-antara-anak-anak-remaja-kita

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke