Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cerita Sekolah Adat di Kalimantan, Lahirkan Ahli Waris Budaya, Merangkul Masa Depan

KOMPAS.com - Hilangnya hutan di Kalimantan mengancam pengetahuan tradisional dan cara hidup masyarakat adat.

Karena sangat bergantung pada hutan untuk makanan dan sumber daya, berkurangnya hutan berpotensi membahayakan kesejahteraan dan ikatan budaya.

Upaya konservasi dinilai mendesak. Praktik berkelanjutan juga sangat penting untuk melestarikan hutan Kalimantan dan menjaga warisannya untuk generasi mendatang.

Namun, di atas tanah Kalimantan yang subur, masih ada harapan bagi masyarakat adat yang menghadapi tantangan lenyapnya hutan.

Saat masyarakat Dayak bergulat dengan ancaman kehilangan hutan, ada Sekolah Adat yang hadir sebagai upaya memberdayakan anak-anak menjadi ahli waris budaya.

Sekolah Adat itu bernama Arus Kualan. Arus Kualan menanamkan cinta dan rasa hormat terhadap alam kepada para siswanya. 

Didirikan pada tahun 2014, Sekolah Adat Arus Kualan adalah sistem pendidikan informal di provinsi Kalimantan Barat Indonesia, khususnya di daerah Simpang Hulu Kabupaten Ketapang, dengan fokus utama untuk menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai tradisional kepada generasi muda.

Di sekolah tersebut, alam adalah guru yang dihormati, dan proses belajar dipadukan dengan upaya menjaga budaya Dayak.

Selama beberapa generasi, orang Dayak sangat menghargai tanah mereka, memandang setiap pohon, sungai, dan makhluk hidup sebagai bagian dari identitas mereka.

Generasi muda kunci keberlanjutan budaya

Dampak dari mengikuti Sekolah Adat dirasakan betul oleh Selsi (12). Ia telah menemukan minatnya dalam mengajar seni memainkan Sampe, alat musik tradisional suku Dayak.

Di luar musik, dia juga mengajarkan berbagai permainan kuno dan seni tenun tradisional yang rumit.

"Arus Kualan telah memberi saya kesempatan untuk belajar tentang budaya saya dan menginspirasi orang lain untuk merangkul tradisi kami. Saya sangat senang melihat teman-teman mempelajari dan melestarikan warisan kami," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com.

Selain Selsi, ada pula Elis (14) yang memiliki ikatan leluhur yang kuat. Memiliki hasrat besar dalam melestarikan ilmu pengobatan tradisional.

Terinspirasi dari neneknya yang juga anggota masyarakat adat Dayak, Elis dengan penuh semangat menjalani peran sebagai tabib.

Selain itu, kefasihannya dalam bahasa Inggris membentuknya menjadi duta budaya.

Ia selalu menyambut tamu dari negara lain dengan hangat dan memandu mereka menyaksikan keajaiban Arus Kualan.

"Saya ingin menjembatani kesenjangan antara warisan budaya kami dan dunia. Dengan berbagi pengetahuan tentang pengobatan dan seni tradisional, kami dapat menciptakan apresiasi yang lebih dalam terhadap identitas kami," ujar Elis.

Di tengah tantangan perubahan iklim, Arus Kualan juga berfokus pada pengelolaan lingkungan. Sekolah ini mengintegrasikan ajaran konservasi ke dalam kurikulumnya.

Siswa terjun ke alam melalui trek hutan dan pengamatan satwa liar sehingga menumbuhkan apresiasi yang mendalam atas keterkaitan semua makhluk hidup.

Arus Kualan memberdayakan mereka untuk menjaga warisan budaya dan lingkungan untuk masa depan yang berkelanjutan.

Selsi dan Elis memahami pentingnya menjaga hutan mereka untuk pengobatan tradisional dan kesejahteraan masyarakat.

"Semakin saya belajar tentang alam, semakin saya merasa terhubung dengan akar budaya kita. Arus Kualan telah mengajari saya bahwa kita adalah penjaga lingkungan kita, dan merupakan tanggung jawab kita untuk melindunginya demi generasi mendatang," uajr Selsi.

Elis percaya bahwa generasi muda memegang kunci untuk menjaga warisan budaya dan lingkungan.

"Melalui pengalaman langsung dengan keajaiban alam, kita dapat menumbuhkan apresiasi yang mendalam terhadap tradisi kita dan keterkaitan semua makhluk hidup," tutur Elis.

Bersama Arus Kualan, masyarakat Dayak telah menemukan kunci melestarikan warisannya sambil merangkul masa depan yang berkelanjutan.

"Bersama Arus Kualan, saya menemukan akar saya, tujuan saya. Sekarang, sebagai seorang guru, saya bertekad menjaga warisan kami tetap hidup untuk generasi yang akan datang," ujar Elis.

Alam raya adalah sekolah

Berpijak pada filosofi “alam raya adalah sekolah dan setiap orang adalah guru,” Arus Kualan merangkul pelajar dari segala usia.

Sekolah ini membentuk komunitas pelajar yang beragam yang ingin melestarikan warisan Dayak.

Plorentina Dessy, Pendiri Sekolah Adat Arus Kualan, mengungkapkan rasa bangganya.

"Melihat Selsi dan Elis menjalankan peran mereka sebagai guru dan duta, memberi kami harapan untuk masa depan. Mereka mewakili hati dan jiwa dari misi Arus Kualan," ujar Dessy.

Kedua siswa ini, lanjut dia, sekarang juga guru yang dibanggakan, adalah katalisator budaya. Mereka menginspirasi harapan dan dedikasi pada generasi berikutnya, mewariskan kearifan yang diperoleh di sekolah.

Dessy memaparkan, berakar pada keyakinan bahwa kearifan lokal adalah kunci dalam mempertahankan warisan budaya, lembaga pendidikan nonformal ini menanamkan seni tari, musik, dan kerajinan tradisional kepada para siswanya.

Tidak hanya itu, menyadari bahwa literasi adalah pintu gerbang menuju pengetahuan dan pemberdayaan, Arus Kualan pun menekankan pada pembangunan keterampilan membaca dan menulis.

"Dengan cara ini, siswa dapat mengungkapkan pemikiran dan aspirasi mereka secara efektif," papar Dessy.

Arus Kualan berupaya membekali mahasiswanya dengan sarana untuk menjadi komunikator yang percaya diri dan pemikir kritis.

Para guru menggelar kelas literasi bagi anak-anak untuk belajar membaca, menulis, bahkan bahasa asing dan komputer.

Kelas-kelas ini dirancang untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan memperluas wawasan siswa, memungkinkan mereka terhubung dengan dunia luar.

Melalui literasi, Arus Kualan memberdayakan siswanya menjadi peserta aktif dalam masyarakat global, di mana komunikasi dan pemahaman tentang berbagai perspektif adalah kuncinya.

Selsi dan Elis mencontohkan potensi transformatif dari pendidikan ini. Saat mereka menggali keunggulan akademik, mereka menabur benih pelestarian budaya.

Kesuksesan mereka menjadi bukti jalinan warisan budaya dan pertumbuhan pribadi yang dipupuk di Arus Kualan.

Dengan individu-individu yang berdedikasi seperti itu, terang Dessy, jantung budaya Dayak akan terus berdenyut kuat, dipupuk oleh kearifan Arus Kualan. Perjalanan mereka adalah bukti kekuatan pendidikan dan pelestarian budaya.

Plorentina Dessy berharap Arus Kualan dapat menjadi model bagi masyarakat adat di negara lain, khususnya di kawasan Asia Tenggara, di mana modernisasi menjadi ancaman signifikan bagi kelangsungan hidup dan identitas budaya masyarakat asli.

Dessy juga bercita-cita jika berhasil diadopsi oleh masyarakat adat di negara lain, program serupa di sekolahnya dapat memperoleh perlindungan dan dukungan dari pemerintah daerah.

“Seiring upaya kami untuk melestarikan warisan budaya dan memberdayakan masyarakat adat, Arus Kualan berdiri sebagai mercusuar harapan. Semoga model kami dapat menginspirasi dan melindungi budaya asli di Asia Tenggara dan sekitarnya, mengatasi tantangan modernisasi sambil menghargai identitas dan tradisi." ujar Dessy.

Arus Kualan beroperasi pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu, melayani siswa yang bersekolah setelah sekolah formal atau secara eksklusif mendaftar di Sekolah Adat.

Kegiatan outdoor mendominasi kurikulum, meliputi pengajaran obat tradisional, memasak berbahan dasar bambu, identifikasi tumbuhan hutan, dan partisipasi dalam permainan adat.

Kunjungan ke rumah sesepuh untuk belajar dari narasi mereka berkontribusi pada pengayaan budaya siswa.

Selanjutnya, sekolah memperluas pengaruhnya di dalam ruangan, menawarkan pelajaran literasi, musik tradisional, tarian, lagu, dan kerajinan tangan, termasuk produksi pakaian tradisional.

Kelas bahasa Inggris dan kegiatan mewarnai juga diintegrasikan ke dalam program.

Lembaga ini memainkan peran penting dalam melestarikan warisan budaya Indonesia yang kaya, menjembatani masa lalu dan masa kini dengan menumbuhkan apresiasi terhadap praktik dan kearifan tradisional di kalangan generasi muda.

Selama satu dekade terakhir, Arus Kualan telah menyaksikan minat yang meningkat dalam misinya, dengan sekitar 350 siswa yang tercatat dari tahun 2014 hingga 2023.

Saat ini, sekitar 168 siswa berpartisipasi aktif dalam program transformatif sekolah.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/08/11/083442471/cerita-sekolah-adat-di-kalimantan-lahirkan-ahli-waris-budaya-merangkul-masa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke