Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Talkshow ITS: Ini Sisi Terang dan Gelap dari Kendaraan Listrik

KOMPAS.com - Di Indonesia, kendaraan listrik sudah banyak diminati oleh masyarakat. Hal ini tentu menjadi nilai positif untuk mendukung Net Zero Emission.

Meski demikian, apakah kendaraan listrik sudah sepenuhnya siap untuk menggantikan kendaraan yang masih menggunakan bahan bakar fosil?

Menurut Adhe Anggriawan Putra, MSc., DIC., selaku CEO sekaligus Co-Founder dari Inovast Consulting, electrical vehicle (EV) atau kendaraan listrik merupakan kendaraan yang menggunakan aliran listrik 100 persen dengan menggunakan baterai elektrik yang perlu diisi ulang.

Keunggulan utama atau sisi terang yang diusung oleh konsep kendaraan listrik dibandingkan kendaraan konvensional adalah rendahnya emisi karbon yang diproduksi.

Selain itu juga dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sehingga ramah terhadap lingkungan.

Ada sisi gelap yang jarang diketahui

Namun, terdapat sisi gelap dari kendaraan listrik yang jarang menjadi perhatian. Label “aman terhadap lingkungan” ternyata tidak sepenuhnya benar melekat pada kendaraan listrik.

Ia menyatakan, karbon dioksida yang diemisikan oleh Internal Combustion Engine (ICE) dan EV ini jumlahnya mendekati sama.

"Contohnya seperti penggunaan lithium pada komponen baterai yang dalam proses produksinya masih membutuhkan banyak energi," ujarnya saat menjadi pemateri pada Industrial Chemical Engineering Talkshow (ICHETS) 2022, Minggu (30/10/2022).

Adapun talkshow itu digelar oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia Industri (HMTKI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Tak hanya itu saja, ia mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki target untuk memproduksi kendaraan listrik sebanyak 2.200 unit di tahun 2030.

Adhe menjelaskan bahwa ini merupakan target yang cukup ambisius melihat bahan baku yang memungkinkan harus impor dari luar negeri.

"Dengan kata lain, kita cuma berpindah dari minyak yang diproduksi oleh Amerika ke mineral dan lithium yang di produksi oleh China, tidak ada yang berbeda," ungkapnya seperti dikutip dari laman ITS.

Tentunya, dengan target tersebut, dirinya merasa hal itu belum sepadan dengan hal-hal yang harus dilakukan terkait pemberlakuan kebijakan terhadap EV di Indonesia.

Seperti rendahnya kesiapan untuk membangun stasiun pengisian untuk mobil listrik. Sebab, hal ini dapat dilihat bahwa sejauh ini hanya terdapat 240 unit stasiun yang tersebar di seluruh Indonesia.

"Jumlah ini termasuk sangat sedikit, sehingga menurunkan minat masyarakat terhadap adanya teknologi EV ini," tuturnya.

Mobil listrik jadi simbol ekonomi statis

Sedangkan melalui hasil riset market yang dilakukan Adhe, terdapat beberapa faktor yang menjadikan Indonesia sebagai pasar yang tepat terhadap pemasaran EV.

Menurutnya orang Indonesia lebih menyukai mobil elektrik sebagai kepunyaan pribadi ketimbang yang dijadikan transportasi umum.

Ini berkaitan dengan Rise of Middle Class, yaitu tendensi dari membeli sebuah mobil listrik adalah simbol dari ekonomi statis.

Masyarakat juga menganggap biaya listrik yang murah. Harga listrik per-Kwh di Indonesia relatif lebih murah sehingga melakukan pengisian ulang baterai sebagai pengganti bensin dianggap masih terjangkau.

"Kalau punya mobil menggambarkan orang sukses," imbuhnya.

Karenanya, kendaraan listrik saat ini masih menjadi lembaran putih dimana siapapun bisa berkontribusi,

"Yang harus kita lakukan adalah menyiapkan diri untuk bisa menghadapi perkembangan yang terjadi di masa depan," tandasnya.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/11/01/111700671/talkshow-its--ini-sisi-terang-dan-gelap-dari-kendaraan-listrik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke