Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menjahit Kembali Luka-luka Pendidikan Setelah Covid-19

Dari pandemi yang mengancam kesehatan dan jiwa penderitanya menuju status endemi yang hanya menimbulkan penyakit mirip flu dengan penanganan jauh lebih ringan.

Namun, apakah suasana sekolah kembali normal seperti semula?

Sebagai praktisi pendidikan, penulis melihat banyak hal berubah. Ketika pembelajaran masih dengan metode PJJ (pembelajaran jarak jauh), para siswa sudah “kadung” atau terlanjur menikmati suasana rebahan, santai.

Segala pekerjaan dimudahkan dengan mengintip, memakai mesin pencari, pun dalam menjawab soal-soal. Banyak yang terbantu dan nilai terkatrol karena tidak ada pengawasan khusus.

Semua anak didik bisa mengatrol nilai dengan melakukan kerja sama ketika menggunakan gadget atau laptop dengan jaringan internet.

Ada beberapa aplikasi yang digunakan agar pembelajaran tidak membosankan, ada kecanggihan baru dengan melakukan pembelajaran lewat zoom atau gmeet.

Semakin bagus jaringan internet, maka semakin mudah interaksi pembelajarannya. Semakin canggih aplikasinya semakin memudahkan guru untuk melakukan variasi pembelajaran.

Covid-19 paling tidak telah mengubah mindset para anak didik. Banyak pertanyaan bisa dijawab dengan menggunakan bantuan mesin pencari baik lewat voice, maupun dengan mengetikkan kata kuncinya.

Kemudahan ini, menurut pengamatan penulis, cukup melenakan, karena ada ketergantungan tinggi pada gadget yang mempermudah mencari jawaban lewat internet.

Banyak anak didik yang terkaget-kaget ketika kembali ke sekolah, apalagi pada sekolah yang membatasi penggunaan gadget.

Sebelumnya ketika mengerjakan ujian di rumah, mereka bisa bekerjasama, bisa memanipulasi jawaban, bisa dengan cepat membuka rumus-rumus untuk mempermudah mencari jawaban.

Kini setelah masuk, banyak guru merasa kesulitan mengembalikan kemandirian anak didik untuk tidak terlalu tergantung dengan benda kecil tersebut.

Kalau dijumlahkan berapa juta anak yang sudah terbiasa memegang teknologi canggih tersebut. Internet sudah menjadi dunia baru.

Bahkan kadang saking boomingnya orang-orang terdekat lebih memilih berkomunikasi lewat internet daripada berhadapan langsung.

Anak-anak mempunyai hidup dalam dunianya sendiri, mempunyai cara sendiri untuk membunuh kebosanan dengan main game.

Gerak badan sangat kurang karena budaya rebahan sudah terlanjung mengasyikkan. Perubahan akibat Covid-19 itu telah membuat digitalisasi cepat berkembang, semua tergantung pada perangkat digital.

Setelah Covid-19 berlalu nantinya, apakah ketergantungan itu menjadi kewajiban dalam menerapkan pembelajaran?

Rasanya di institusi kami sebagian dikembalikan ke masa sebelum Covid-19. Ujian kembali menggunakan kertas, jawaban, essay ditulis menggunakan keterampilan tangan.

Melihat coretan mereka rasanya kami sebagai guru cukup kaget. Rupanya selama pandemi, tangan mereka lebih banyak difungsikan untuk memencet tuts, jarang menulis. Jadi banyak dari mereka yang tulisannya seperti cakar ayam, susah dibaca.

Menjadi tantangan bagi guru untuk membiasakan lagi anak didik untuk menulis di buku dengan memfungsikan tangan.

Lalu ada pertanyaan menggelitik, kenapa harus kembali menggunakan kertas, bukannya dengan teknologi mempermudah guru untuk menilai? Sudah ada sistem yang bisa dengan gampang membuat aplikasi penilaian, kan?

Pada dasarnya pendidikan adalah pembentukan karakter, pembelajaran proses dan pembentukan watak sosial.

Pengetahuan saat ini sangat mudah didapat. Namun yang paling susah adalah menemukan tempat pembelajaran untuk membentuk karakter yang menjauhkan dari sikap-sikap intoleran, ambigu, egois dan antisosial.

Pembelajaran online banyak melupakan karakter dasar manusia yang harus berinteraksi secara langsung, mengembangkan sikap empati, kesetiakawanan.

Bisa jadi kecerdasan dan luasnya pengetahuan era digital jauh lebih bagus. Namun sikap masa bodoh, egoisme, kurangnya pengenalan karakter tiap individu susah dipegang.

Maka pascacovid-19 pembelajaran onsite harus mengembalikan anak didik untuk mengembangkan sikap empati, saling gotong-royong.

Pendidikan onsite lebih komunikatif, lebih mudah memberikan contoh nyata dengan sikap dan perilaku yang ditunjukkan sehari-hari.

Contohnya untuk mengembangkan sikap peduli empati anak didik perlu mengembangkan sikap ramah, peduli dan saling menyapa bila berpapasan apalagi kepada guru atau tamu yang datang.

Di sekolah kami senyum sapa santun ditunjukkan dengan sikap hormat (meskipun belum kembali pada kebiasaan semula dengan bersalaman, tapi diubah dengan menyilangkan tunduk, hormat).

Meskipun belum mendapatkan hasil memuaskan karena sikap seperti yang dicontohkan belum menjadi kebiasaan. Lembaga pendidikan harus bekerja keras mengembalikan kebiasaan anak didik yang baik sebelum pandemi.

Semoga Covid-19 benar-benar lenyap hingga pembelajaran kembali normal. Dan dengan penerapan kurikulum merdeka, semoga dunia pendidikan di Indonesia semakin bergerak maju.

Sebab saat ini banyak “anak cerdas” namun tidak mempunyai sikap positif dan cenderung menjadi pribadi pembosan.

Kecerdasan saja tidak cukup, tapi harus disertai dengan karakter, moralitas yang baik dan kecerdasan sosial yang unggul.

Puncak kekhawatiran saat ini adalah radikalisme yang sudah menyusup di lembaga pendidikan.

Semoga pendidikan mampu memecahkan persoalan yang krusial bangsa, sikap-sikap rakus yang berkecenderungan berperilaku korup, mencetak generasi emas bagi pemimpin di masa datang.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/06/11/070000771/menjahit-kembali-luka-luka-pendidikan-setelah-covid-19

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke