Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Kabar Satuan Tugas Anti Kekerasan Seksual di Kampus?

Topik pembicaraan dalam pertemuan itu tentang pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di PTS.

Pembicara dari LLDikti terdiri dari Plt. Kepala Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Ir. Hendarman. M.Sc. Ph.D; Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah V Prof. Aris Junaidi., Ph.D; Kepala Bagian Umum LLDIKTI Wilayah V Taufiqurrahman, dan staf teknis pembentukan Satgas PPKS.

Para pejabat kementerian dan LLDikti tersebut mendendangkan narasi senada bahwa pimpinan PTS harus segera membentuk Satgas PPKS mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan PT.

Merujuk pada Pasal 57 peraturan tersebut, PT harus membentuk Satgas PPKS dalam tempo maksimal satu tahun sejak peraturan diterbitkan pada 3 September 2021.

Mereka menjelaskan sekaligus minta para pimpinan PTS untuk segera menunjuk operator teknologi informasi (IT) agar operator yang ditunjuk mengakses https://portalppks.kemdikbud.go.id/ untuk mendapat akun PPKS.

Kemudian setiap PTS yang telah memiliki akun dimaksud, harus mendaftarkan sepuluh bakal calon panitia seleksi (pansel) yang terdiri dari unsur dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.

Bakal calon pansel yang didaftarkan harus mengikuti pelatihan, dan uji kompetensi secara online untuk lolos menjadi pansel yang bertugas untuk menyeleksi calon personel Satgas PPKS.

Mereka yang lolos seleksi ditetapkan dan diumumkan oleh kementerian tersebut menjadi Pansel Calon Satgas PPKS.

Pansel PPKS melakukan open recruitment dengan prosedur membuat pengumuman terbuka di kampus masing-masing tentang rekrutmen bakal calon Satgas PPKS, kemudian menguji pendaftar dengan materi uji kompetensi dan uji publik.

Peserta calon Satgas PPKS seperti bakal calon pansel PPKS, berasal dari elemen dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.

Penjelasan tentang prosedur pembentukan Satgas PPKS memantik sejumlah pertanyaan dari para pimpinan PTS yang hadir.

Pertama, bagaimana biaya rekrutmen calon pansel dan satgas PPKS? Kedua, apakah level pelembagaan PPKS harus Satgas?

Ketiga, bagaimana PTS yang hanya memiliki satu atau dua program studi? Keempat, bagaimana PTS yang memiliki kendala anggaran dan sumber daya manusia?

Pertanyaan dari para pimpinan PTS mengubah suasana sosialisasi PPKS yang monolog mulai berubah menjadi dialog.

Para pimpinan PTS yang hadir dalam pertemuan itu umumnya berpikir bahwa Satgas PPKS penting untuk mengelola dan menindaklanjuti kasus-kasus kekerasan seksual di kampus.

Masalahnya mendirikan lembaga baru –mayoritas PTS di Yogyakarta belum memiliki lembaga serupa—pimpinan PTS tertentu berpikir tentang konsekuensi anggaran dan infrastruktur lembaga.

Membentuk lembaga baru identik dengan mengalokasikan anggaran baru. Pembiayaan yang diperlukan rekrutmen bakal calon pansel, biaya pansel melakukan seleksi calon Satgas PPKS, dan anggaran operasional satgas dalam masa kerja selama dua tahun.

Apakah proses pelembagaan sepert itu bisa pro bono alias para calon pansel dan satgas mau menjadi relawan tidak dibayar?

Bagaimana anggaran Satgas dalam pelayanan atas laporan-laporan yang mereka terima selama melaksanakan tugas, melakukan pendampingan, rehabilitasi korban, pendampingan hukum?

Para pimpinan PTS yang dana pelayanan dan penyelenggaraan pendidikannya mandiri, mengandalkan sumbangan pelayanan pendidikan (SPP) dari mahasiswa, tentu berpikir keras untuk membuat alokasi baru pembiayaan lembaga PPKS dimaksud.

Kemudian mereka berpikir soal dukungan infrastruktur seperti ruang kantor beserta kelengkapan perkantoran.

Menyediakan ruang yang lengkap dengan fasilitas pendukung untuk Satgas PPKS bagi sebagian PTS bukan perkara sepele. PTS tertentu memiliki ruang yang relatif terbatas.

Mengapa masalah ruang kantor penting? Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30/2021 tentang PPKS menentukan bahwa lembaga ini harus independen.

Maknanya, lembaga semacam ini harus diperlakukan secara terhormat. Orang akan mentertawakan ketika lembaga independen tidak memiliki kantor, anggotanya “berkeliaran” dan kelimpungan untuk mengelola lembaga, mendapat ruang rapat, memeriksa pelapor dan terlapor kasus kekerasan seksual.

Apakah mereka bisa bekerja tanpa ketersediaan infrastruktur yang esensial itu?

Infrastruktur dan anggaran bagi PTN tidak masalah. Dari paparan LLDikti dan berbagai data di media, PTN paling proaktif dalam merespons dan melaksanakan perintah pembentukan Satgas PPKS.

Maknanya, PTN sangat siap secara infrastruktur, finansial, dan SDM yang mendukung satgas tersebut.

Terdapat sejumlah PTS meresponnya, tetapi sebagian besar PTS belum merespons perintah pembentukan satgas dimaksud.

Apakah bisa modifikasi Lembaga PPKS?

Problem infrastruktur dan anggaran mendorong PTS tertentu berinisiatif untuk memodifikasi proses pembentukan dan level kelembagaan Satgas PPKS.

Proses pembentukan dilakukan internal PTS dengan menyederhanakan pembentukan pansel. Misalnya pansel ditunjuk oleh pimpinan PTS yang terdiri para pejabat di kampus, yang ditugaskan untuk menyeleksi calon anggota satgas. Terdapat pemangkasan prosedur.

Yang ideal dalam peraturan menteri Satgas PPKS bahwa PT harus mengakses akun PPKS sebagai bagian awal persiapan proses seleksi calon pansel.

Karena mereka harus mengikuti pelatihan dan uji kompetensi, PTS khawatir para calon pansel memerlukan alokasi waktu khusus untuk mengikuti program persiapan tersebut.

Sebagai dampak logis atas tugas tersebut, para calon pansel harus mendapat sokongan logistik selama mereka mengikuti latihan.

Apabila calon pansel dibentuk langsung oleh rektor, maka alokasi dana dukungan tidak diperlukan, dan prosedurnya lebih efisien.

Dalam rapat koordinasi pimpinan PTS dan LLDikti V Yogyakarta, langkah pemangkasan prosedur pembentukan pansel PPKS tersebut ditolak keras.

LLDikti memerintahkan PT/PTS yang memiliki lembaga PPKS, prosedur pembentukan tidak mengikuti ketentuan terbaru, harus disesuaikan ulang.

Mereka harus menempuh prosedur baru, yang dimulai dengan PT mengakses akun PPKS, mengusulkan calon pansel dan seterusnya.

Pemikiran untuk memodifikasi kelembagaan PPKS mencuat di kalangan PTS yang ikut pertemuan dengan LLDikti tersebut.

PTS tertentu mengusulkan lembaga antikekerasan seksual itu tidak perlu lembaga independen setinggi Satgas PPKS, cukup dengan lembaga yang embedded alias melekat pada lembaga terkait.

Misalnya, Satgas PPKS sebagai bagian yang menyatu dengan biro atau direktorat kemahasiswaan di kampus.

Strategi demikian mengatasi problem infrastruktur ruang kantor, dan meminimalisasi anggaran karena sebagian dari pansel atau satgas dari pimpinan dan staf di kampus yang bisa berkantor bersama di biro kemahasiswaan.

Modifikasi kelembagaan PPKS itu memudahkan PTS dalam membentuk dan mengorganisasikan.

Namanya pun bisa diubah menjadi Unit Pelaporan dan Pelaksana PPKS atau nama lainnya. Risiko atas langkah tersebut bahwa PPKS bukan lagi menjadi lembaga independen seperti diinginkan dalam aturan kementerian.

Peraturan kementerian soal Satgas PPKS sangat ideal, yaitu lembaga yang diproses secara independen sekaligus dijalankan secara mandiri.

Lembaganya terpisah dari lembaga-lembaga lain di universitas agar pelaksanaan tugas mereka benar-benar mengedepankan semacam asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dalam memproses kasus-kasus kekerasan seksual andaikata yang terlibat unsur pimpinan dan anggota sivitas akademika yang berpengaruh.

Bayangan tentang postur Satgas PPKS ini mencerminkan model kelembagaan independen dalam struktur kenegaraan, misalnya Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Lembaga Masyarakat Sipil (LSM) dan lembaga negara mandiri lainnya.

Idealisme satgas tersebut mengekspresikan para konseptornya yang bisa jadi dari kalangan lembaga masyarakat sipil dan komisi-komisi indepanden yang ada di Indonesia.

Mereka menggenalisasi bahwa PT laksana negara yang harus didukung oleh lembaga-lembaga independen yang bertugas menangani kasus-kasus krusial, berdimensi hak asasi manusia dan persoalan pelanggaran hukum.

Dari penjelasan para pejabat kementerian dan fasilitator dalam pertemuan PTS dan LLDikti V Yogyakarta, PTS tidak memiliki peluang untuk menawar dan memodifikasi bentuk kelembagaan PPKS. Satgas PPKS sebagai harga mati.

Bahkan, mereka memerintahkan agar PT yang telah membentuk lembaga sejenis tetapi proses dan unsur personel kelembagaan berbeda harus diubah, disamakan dengan Satgas PPKS.

Dengan tekanan semacam itu, PTS tidak memiliki peluang untuk menolak perintah pembentukan Satgas PPKS.

Sanksinya terlalu berat bagi PT yang menolak perintah tersebut, yaitu pimpinan PT dipecat dan akreditasi dicabut/diturunkan, misalnya dari A ke B.

PTS-PTS bisa saja tetap membentuk lembaga tersebut, sesudah terbentuk pasang papan nama, untuk memenuhi legalitas saja.

Semangat pembentukan lembaga PPKS secara top down itu sangat layak apabila Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memberikan stimulus infrastruktur dan pembiayaan Satgas PPKS.

Pendekatan reward and punishment itu mengandaikan perimbangan antara tuntutan dan risiko yang diterima PT yang tidak membentuk satgas.

Dengan demikian, Kementeriaan mengedepankan antara pendekatan kekuasaan sekaligus keadilan bagi PTS.

Bila strategi ini diterapkan, peraturan menteri tentang Satgas PPKS direspons secara memadai oleh PTS dan tidak meninggalkan sikap resisten dari para pimpinan PTS.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/06/07/130710671/apa-kabar-satuan-tugas-anti-kekerasan-seksual-di-kampus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke