Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menilik Kisah "Toleransi" Korban Pesawat Dakota VT-CLA, Penting Diketahui Generasi Muda

KOMPAS.com - Mengulik sejarah itu tidak ada habisnya. Apalagi ketika mengupas pada zaman kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Banyak pahlawan yang berjuang demi bangsa bukan demi agama.

Kenapa dikatakan demikian? Sebab, ada kisah menarik yang jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia. Yakni terkait para penumpang pesawat Dakota VT-CLA yang jatuh pada tahun 1947.

Tentunya, keluarga besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) ketika mendengar pesawat Dakota VT-CLA pasti teringat akan peristiwa tragis yang menimpa TNI AU.

Namun bagi para pelajar, mahasiswa, serta masyarakat umum masih awam dengan peristiwa tersebut. Sebab, ini adalah peristiwa bersejarah bagi matra Angkatan Udara.

Bagi yang penasaran, yuk coba mampir ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jogja yang dikenal dengan kota pelajar, kota budaya dan kota pariwisata ini punya museum pesawat terbang, yakni Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala (Muspusdirla).

Lokasinya berada di Kabupaten Sleman atau di Kompleks Lanud Adisutjipto (Lanud Maguwo), sebagai cikal bakal berdirinya TNI AU.

Sejarah jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA

Kepala Muspusdirla Yogyakarta, Kolonel Sus Yuto Nugroho S.S., saat ditemui Kompas.com di kantornya, Selasa (10/5/2022), coba menceritakan sejarah jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA tersebut.

Diceritakan bahwa pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota VT-CLA yang membawa bantuan obat-obatan dari Palang Merah Internasional untuk Palang Merah Indonesia ditembak jatuh oleh 3 pesawat Kitty Hawk Belanda secara membabi buta.

Padahal, jelas-jelas pesawat Dakota VT-CLA adalah pesawat dengan misi kemanusiaan yang terbang dari Bandar Udara Kalang Singapura menuju Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta.

"Akhirnya pesawat VT-CLA itu jatuh dan terbakar di Desa Ngoto Kabupaten Bantul DIY. Tragisnya, beberapa penumpang di pesawat VT-CLA itu ialah para pelopor dan perintis TNI AU," ungkap Kepala Muspusdirla.

Mereka yang gugur adalah pelopor dan pendiri TNI AU yakni Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdurrachman Saleh serta Opsir Muda Udara Adisoemarmo.

Begitu juga Pilot Alexander Noel Constantine, Co-Pilot Roy Hazelhurst, Bhida Rham (teknisi dari India), Ny. Noel Constantine dan Zainul Arifin (konsul dagang RI di Malaka). Hanya satu penumpang yang selamat yakni Abdul Gani Handonotjokro.

Kini di lokasi jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA berdiri Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara. Di sanalah Komodor Muda Udara A. Adisutjipto dan Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdurrachman Saleh dimakamkan.

Nama-nama yang menjadi korban jatuhnya pesawat VT-CLA diabadikan pada salah satu sisi tugu di Monumen Perjuangan TNI AU itu. Di ujung selatan areal parkir Monumen Perjuangan TNI AU, replika bagian ekor pesawat Dakota VT-CLA dipasang.

Selain di Monumen Perjuangan TNI AU Ngoto itu, ada pula replika separuh badan hingga ekor pesawat Dakota VT-CLA yang jadi koleksi di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala.

"Untuk mengenang dan mengabadikan peristiwa ditembak jatuhnya pesawat VT-CLA, setiap tanggal 29 Juli diperingati oleh keluarga besar TNI Angkatan Udara sebagai Hari Bakti TNI Angkatan Udara," terang Kolonel Yuto.

Tapi jika menilik lebih dalam, ada cerita yang harus diteladani oleh masyarakat Indonesia, yakni para awak pesawat maupun penumpang itu terdiri dari berbagai ras maupun agama.

Seperti Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto yang beragama Katolik, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdurrachman Saleh beragama Islam, sang pilot yang berkebangsaan Australia yakni Alexander Noel Constantine menganut agama Kristen.

Tak hanya itu saja, turut serta menjadi korban yang gugur ialah Bhida Rham, seorang teknisi mesin dari India yang menganut agama Hindu.

"Jadi, peristiwa VT-CLA ini adalah bentuk toleransi dari para pendahulu kita. Mereka mengesampingkan agama karena semua berjuang untuk bangsa Indonesia," ungkap Kamuspusdirla.

Sikap toleransi itu yang kemudian selalu disampaikan pada para pengunjung Muspusdirla ketika melihat replika pesawat Dakota VT-CLA. Termasuk para generasi muda bangsa harus paham sisi lain jatuhnya pesawat itu.

Yakni di dalamnya ada nilai juang dan toleransi yang harus teladani. Bahwa nilai ini harus kita serap dan kemudian diterapkan di dalam keseharian kita.

Tentunya, berkaca dari sejarah berdirinya bangsa Indonesia juga tak lepas dari para pendiri yang berasal dari beragam suku, agama, ras, golongan, dan bahasa.

"Adik-adik kita, khususnya pelajar, mahasiswa maupun siswa sekolah kedinasan yang berkunjung ke museum ini sudah diberi contoh oleh para pendahulu. Dengan misi kemanusiaan itu, mereka menunjukkan toleransi karena berjuang untuk Indonesia," tegasnya.

Generasi muda harus jadi pahlawan masa kini

Kolonel Yuto Nugroho juga berpesan pada generasi muda untuk meneladani para pendahulu. Caranya? Yakni dengan menerapkannya di dalam keseharian sesuai bidang masing-masing.

"Jadilah pahlawan-pahlawan masa kini. Misalnya saja siswa dengan belajar rajin, pekerja dengan bekerja profesional. Atau bagi masyarakat ya dengan mematuhi aturan adalah bentuk mengisi kemerdekaan ini," pesan Kamuspusdirla.

Diakhir wawancara, Kolonel Sus Yuto Nugroho menegaskan bahwa masyarakat perlu mengunjungi museum agar tahu dan mengenal sejarah para pendahulu.

"Sejarah itu bagi saya adalah jendela masa lalu yang harus kita tahu dan kita hargai. Tentu agar kita bijak dalam melangkah ke masa depan yang lebih baik dengan hati-hati, arif dan bijaksana serta bertoleransi," tegas Kolonel Yuto.

Jika kamu generasi muda yang ingin menghargai sejarah, yuk berkunjung ke Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala (Muspusdirla) Yogyakarta. Museum pesawat di Jogja ini buka setiap hari mulai pukul 08.30-16.00 WIB.

Di museum ini terdapat 61 koleksi pesawat. Yakni 40 pesawat di dalam dan 21 berada di luar atau halaman museum. Adapun pesawat terdiri dari berbagai jenis seperti pesawat tempur, angkut dan helikopter.

Sedangkan total koleksi yang dipamerkan sekitar lebih dari 3.600 koleksi. Yaitu berupa pesawat termasuk alutsista, barang-barang pribadi para pendahulu, seragam, dan lain-lain.

Adapula bunker peninggalan penjajah yang bisa dimasuki pengunjung untuk melihat langsung seperti apa itu bunker.

"Semua koleksi itu menyimpan cerita menarik. Dengan mengunjungi museum, generasi muda akan mengenal dan lebih dekat dengan sejarah. Dan harapannya bisa menjadi pahlawan-pahlawan masa kini," tandas Kolonel Sus Yuto Nugroho.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/05/10/113700371/menilik-kisah-toleransi-korban-pesawat-dakota-vt-cla-penting-diketahui

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke