Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Semesta Digital Metaverse Pendidikan di Indonesia

Metaverse akan menciptakan pengalaman baru yang berbeda, ‘hyper interactive’ dengan tingkat engagement meningkat signifikan, 24/7, borderless dengan hadirnya ruang tidak terbatas, multi international engagement yang lebih lebar, aktif dan bebas.

Mengutip KBBI, meta berarti sebuah perubahan. Dalam bahasa Yunani kuno bermakna sesudah (after) dan melebihi (beyond).

Praktik metaverse dalam pendidikan berarti akan terjadi dan bahkan sudah terjadi ketika praktik transfer ilmu dilakukan tanpa mengenal batas ruang dan waktu.

Bayangkan hampir semua aktivitas fisik dan interaksi sosial (belajar, bermain, rapat, diskusi, belanja, bekerja hingga berkreasi) dapat dilakukan dalam dunia virtual dalam bentuk teleportasi instan dengan teknologi hologram.

Semua diwujudkan secara virtual melalui integrasi dari media sosial, virtual reality (VR), augmented reality (AI), cryptocurrency dan berbagai perangkat yang sedang hype saat ini.

Meskipun masih terdengar asing dan jauh dari implementasi dalam ruang lingkup perguruan tinggi, namun sudah seharusnya para pemimpin perguruan tinggi bersiap.

Misal, performa metaverse akan berjalan baik ketika proses transfer data berjalan lancar. Ini dapat terwujud dengan proses migrasi data yang besar, sehingga perlu dibangun dengan infrastruktur internet dan digital yang memadai.

Beberapa universitas di dunia mulai merancang lingkungan pendidikan digital.

Contohnya, Universitas Amman Arab di Yordania telah bekerja sama dengan perusahaan yang bergerak di bidang virtual reality untuk membuat perangkat khusus.

CEU University di Spanyol membangun prototipe kampus mereka untuk mendukung komunitas pembelajaran yang berbasis Minecraft Education Edition.

Proyek ini melibatkan 200 mahasiswa mereka. Khon Kaen University di Thailand meluncurkan proyek yang bernama Metaverse Experience.

Kehadiran metaverse menambah alasan bagi dunia pendidikan untuk semakin berkembang secara progresif.

Dengan semakin canggihnya internet, bukan tidak mungkin pendidikan akan berpindah dari dunia nyata ke dunia virtual.

Pasti kita belum pernah terbayang sebelumnya bagaimana 6-10 tahun dari sekarang aktivitas interaksi tatap muka dalam dunia pendidikan seperti orientasi mahasiswa baru, conference, tur kampus, ujian tengah/akhir semester, interview, hingga proses magang dapat berpindah ke dunia virtual metaverse.

Singkatnya, ada banyak potensi tak diketahui yang dimiliki metaverse yang bisa digali para stakeholder pendidikan.

Fleksibilitas dalam akses pembelajaran

Kita bisa melihat bahwa metaverse dapat juga menjadi level berikut dari dunia internet saat ini.

Bahkan Facebook mengatakan bahwa metaverse merupakan ‘next chapter of the internet.'

Pernyataan Facebook agaknya akurat karena dalam hal pembelajaran, teknologi metaverse menyediakan akses seluas-luasnya untuk belajar yang lebih fleksibel.

Metode belajar di mana saja dan kapan saja menjadi konsep menarik yang digandrungi banyak pihak. Waktu, ruang dan biaya dapat dipangkas dengan kehadiran teknologi.

Namun sebelum pandemi berlangsung, sebenarnya sudah muncul berbagai tanda bahwa pendidikan akan bergerak ke arah virtual education.

Misalnya di Amerika Serikat, salah satu temuan dari Babson Survey Research Group (2016) adalah ada satu pertiga murid (31,6 persen dari 6.359.121) yang mengambil satu kursus online.

Penelitian dari Cambridge International 2018, dikutip dari BBC, menemukan bahwa 62 persen siswa Indonesia menggunakan gadget di kelas dan 81 persen mengoptimalkan gadget untuk melakukan pekerjaan rumah.

Data di atas merupakan fenomena yang terjadi sebelum pandemi, di mana teknologi masih dalam proses penyesuaian untuk masuk ke dunia pendidikan.

Ketika pandemi Covid 19 terjadi, terdapat 1,6 miliar pelajar terdampak disrupsi pendidikan karena adopsi teknologi yang mendadak.

Jika dilihat dari sisi positifnya, maka disrupsi ini membuat pelajar bisa belajar kapanpun, dimanapun dan dengan siapapun.

Contohnya, berbagai perguruan tinggi sejak 2020 telah menjalin kerja sama dengan Coursera untuk menyediakan kelas online bagi mahasiswanya.

Bayangkan, pelajar mendapatkan akses ke materi berkualitas dari universitas ternama dengan pemateri kelas dunia.

Mereka mendapatkan akses ke 4.500 kelas bersertifikasi yang berdurasi sebesar 67.500 - 180.000 jam.

Di akhir kerja sama, bahkan mahasiswa dapat mengakses 6.579 kelas online dengan total jam belajar sebesar 20.142 jam.

Coursera hanya satu contoh penerapan pendidikan yang adaptif. Di Indonesia, platform seperti Ruangguru dan Zenius juga menciptakan iklim pendidikan digital yang kian menjanjikan.

Pada akhirnya, kita akan melihat teknologi akan menjadi salah satu inti dan kebutuhan primer dalam membangun peradaban pendidikan era digital.

Menurut Escueta et al (2020), secara kolektif teknologi menawarkan potensi yang besar untuk memperluas akses pendidikan, memfasilitasi komunikasi antar berbagai pihak, dan mengurangi friksi pendidikan dari anak usia dini hingga dewasa.

Dengan adanya metaverse, pendidikan akan dibawa ke level demokratisasi pengetahuan yang lebih tinggi.

Menurut Kwang Hyung Lee, Presiden Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST), dikutip dari Times Higher Education, perguruan tinggi yang dilengkapi dengan infrastruktur digital mumpuni dan sumber daya manusia yang cerdas akan menjadi pemimpin baru.

Pelajar di seluruh dunia bisa berkunjung ke berbagai perguruan tinggi yang mereka suka tanpa perlu membayar biaya perjalanan.

Mereka hanya tinggal melakukan log in ke dunia online dengan ID dan avatar masing-masing.

Mereka bisa berinteraksi dengan sesama mahasiswa dari luar negeri. Ada pertukaran budaya dan pola pikir yang terjadi secara kontinyu.

Oleh karena itu, dunia pendidikan sedang berusaha mencapai visi tersebut, termasuk Indonesia.

Pengembangan metaverse bisa membantu pendidikan di Indonesia yang tertinggal dari negara lain. Apalagi, kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal dari negara lain.

Apabila metaverse berhasil dikembangkan dan dioptimalkan, bukan tidak mungkin pernyataan Presiden KAIST bisa terealisasi dalam waktu dekat.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan.

Kesenjangan

Learning loss mungkin adalah istilah yang bisa menggambarkan dampak kesenjangan akses teknologi pendidikan.

Pandemi membuka kotak pandora yang memperlebar kesenjangan dalam pendidikan. Selain itu, disrupsi pendidikan juga menyebabkan anak muda terancam putus sekolah.

Pada masa awal pandemi 2020, lembaga amal Save the Children mengatakan bahwa 9,1 juta siswa terancam putus sekolah.

Menurut data Kemendikbud tahun 2020 juga, 31,8 persen tidak mendapatkan akses internet.

Kominfo tahun 2020 juga mencatat bahwa masih ada 12.548 desa yang belum dibekali dengan internet 4G.

Infrastruktur memang menjadi masalah klasik di dunia pendidikan. Data global menunjukkan bahwa 364 juta anak muda tidak online, yang artinya mereka tidak memiliki akses teknologi yang memadai.

Sepanjang tahun 2020, di Indonesia, terdapat sekitar 159.000 siswa yang putus sekolah karena kurangnya akses dan infrastruktur pendidikan.

Namun, permasalahan infrastruktur hanya the tip of the iceberg karena ada banyak faktor yang membuat tidak semua orang mendapatkan akses pendidikan yang layak.

Seperti efek domino. Ketidakmerataan ini menyebabkan kesenjangan yang pada berdampak dapat menghasilkan sumber daya manusia yang tidak merata dan berkualitas.

Ketidakmerataan sumber daya manusia akan menyebabkan perkembangan kualitas pendidikan di setiap daerah berbeda.

Kesenjangan infrastruktur di Indonesia perlu diselesaikan dengan mempercepat pembangunan infrastruktur fundamental seperti akses internet dan penguatan berbagai infrastruktur digital lainnya.

Misal penggunaan cloud yang dapat menggantikan pengadaan server yang memerlukan biaya yang lebih besar.

Setiap institusi pendidikan perlu dilengkapi dengan berbagai perangkat digital dengan spesifikasi memadai serta kecepatan internet yang tinggi.

Apabila Indonesia ingin memanfaatkan bonus demografi dengan maksimal, menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan bertalenta mutlak harus dilakukan.

Teknologi akan memengaruhi pendidikan di masa depan karena memungkinkan kolaborasi lintas batas dan dapat menciptakan banyak inovasi yang dibutuhkan dunia.

Metaverse bisa menjadi laboratorium inovasi dan pemikiran anak bangsa dari berbagai penjuru.

Banyak bakat akan bertemu dan berbenturan ide brilian. Potensi yang dimiliki metaverse saat ini, mau tidak mau akan membuat institusi pendidikan berlomba-lomba mengembangkan teknologinya.

Hubungan log in, log out?

Metaverse akan menjadi platform yang memungkinkan kita bertemu satu sama lain; saling berinteraksi dan bertukar pikiran.

Namun, apakah hubungan yang terjalin itu antara sesama manusia atau sesama avatar?

Ada perbedaan yang jelas antara dua subjek, di mana avatar merupakan representasi ideal yang ingin ditunjukkan user terhadap user lainnya.

Kolaborasi selalu diawali dari komunikasi. Komunikasi membutuhkan empati. Empati dibutuhkan untuk memahami bagaimana jalan pikir orang lain.

Metaverse mungkin bisa mempertemukan kita dengan banyak orang, tetapi kita harus menggunakan alat terlebih dahulu untuk masuk ke dunia virtual.

Selain itu, bertemu dengan avatar tidak sama dengan bertemu dengan manusia. Karena, salah satu esensi pendidikan adalah bagaimana kita berinteraksi dan mengenal satu sama lain.

Selama masa pandemi, secara umum, 98 persen masyarakat Indonesia dilanda kesepian.

Sedangkan di kalangan remaja, Sagita & Hermawan (2020) menemukan bahwa 43 persen remaja mengalami perasaan kesepian yang cukup tinggi.

Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa lebih dari 20 persen mahasiswa mengalami peningkatan perasaan depresi, cemas, kesepian, dan lain sebagainya.

Perasaan tersebut akan berdampak terhadap semangat belajar yang dimiliki.

Masyarakat juga akan kaget akan jauhnya perbedaan antara metaverse dan dunia nyata.

Menurut pakar ilmu komunikasi UI, Firman Kurniawan, metaverse akan membuat semuanya lebih terpoles, mulai dari suara sampai tempat kita berpijak.

Aktivitas juga jadi lebih menyenangkan. Efek ini membuat masyarakat ketagihan untuk tetap berada di semesta ‘metaverse’.

Ketika metaverse diterapkan tanpa mempertimbangkan pentingnya kontak fisik antar manusia, kemungkinan penerapannya akan menjadi kontraproduktif.

Demokratisasi pengetahuan memang akan berjalan dan membuat siswa mendapatkan pengetahuan yang melimpah.

Tetapi, situasi tersebut mengorbankan salah satu aspek terpenting kehidupan manusia. Sehingga, bisa jadi siswa akan terlalu nyaman berada dalam dunia metaverse dan urung kembali ke dalam dunia nyata.

Mereka mungkin tidak mengetahui bagaimana wajah temannya yang sebenarnya, fisiknya bagaimana, dan gesture wajah mereka ketika berbicara.

Selain itu, permasalahan privasi juga perlu dipertimbangkan seperti bagaimana menjaga privasi kita di dunia virtual?

Lalu, ada masalah etika dan hukum. Bagaimana memberikan hukuman kepada pelajar yang melanggar peraturan?

Lalu, apakah hukuman akan menimbulkan efek jera, terlebih sekarang semua orang bisa mendapatkan akses pengetahuan di manapun?

Apa etika berinteraksi di kampus metaverse? Apakah nantinya peraturan di lembaga pendidikan metaverse akan sama dengan di dunia nyata?

Pertanyaan dan masalah yang penulis sebutkan perlu dikaji lebih dalam bagaimana penerapannya.

Peraturan, infrastruktur (cyber construction & cyber security) dan etika perlu beradaptasi dengan kondisi saat ini yang serba online.

Mempersiapkan grand plan

Metaverse punya potensi besar untuk mengubah masa depan dunia pendidikan dunia: akses luas terhadap pengetahuan dan kemungkinan bertemu dengan avatar banyak orang dari seluruh dunia.

Belajar dari para professor dan pemikir terbaik dunia, kolaborasi riset dan pengembangan inovasi.

Keuntungan tersebut yang harus diambil oleh institusi pendidikan sehingga mereka seharusnya sudah mulai mengembangkan teknologi metaverse.

Cepat atau lambat, suka atau tidak suka fenomena multiverse akan hadir dan menjadi bahagian dari tatanan dunia baru pendidikan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Jawabannya tergantung dari kesiapan infrastruktur digital dan keseriusan berbagai pihak mulai dari pengambil kebijakan hingga masyarakat melek digital di Indonesia.

Berbagai kemungkinan dapat terjadi, termasuk bagaimana metaverse kemudian dapat mendisrupsi tatanan pendidikan saat ini.

Saya pribadi yakin adopsi dan migrasi kehidupan ke metaverse akan lebih mudah dilakukan, mengingat mayoritas dari penduduk Indonesia adalah usia produktif yang melek teknologi.

Salah satu perusahaan rintisan metaverse milik kawan saya, Andes Rizky, Shinta VR yang didirikan tahun 2016 telah mencetak ribuan guru dan ratusan ambassador ‘virtual reality’ sejak tahun 2019.

Sudah digunakan oleh ratusan sekolah di 34 provinsi seluruh Indonesia.

Dampak kebermanfaatan Shinta VR untuk mengubah dunia pendidikan membuat Shinta VR sebagai perusahaan metaverse yang menjanjikan di Indonesia.

Satu lagi, perusahaan asli Indonesia, WIR Group yang hadir sejak 10 tahun lalu dalam teknologi ‘digital reality’, juga berhasil masuk dalam daftar Metaverse Companies to Watch tahun 2022 bersama Facebook (Meta), Microsoft dan Apple.

Saya berkeyakinan, Indonesia mampu menjadi pemain penting dan bersaing dalam perkembangan peradaban metaverse di dunia.

Setiap individu di generasi di berbagai negara memiliki tingkat literasi dan kemampuan ICT /e- literacy yang berbeda disesuaikan dengan kesiapan, kedewasaan dan kebutuhan hidup masyarakatnya.

Kajian ini dibahas melalui berbagai pembahasan dari ‘Personal Capability Maturity Model (P-CMM).

Metaverse memungkinkan hadirnya interaksi virtual antarpengajar dan peserta didik yang nantinya bisa menjadi ‘game-changer’ untuk praktik kegiatan belajar mengajar dalam institusi pendidikan.

Hadir sekolah atau kampus virtual. Hanya soal waktu saja.

Pengajar dan siswa berinteraksi melalui avatar dalam ruang kelas virtual tiga dimensi dengan pendekatan metafora dunia nyata.

Akan hadir masanya di mana kuliah tatap muka tidak dilakukan setiap hari, namun dilakukan dengan hybrid dengan konsep multiverse.

Pandemi COVID-19 mempermudah masyarakat Indonesia lebih akrab dalam mengadopsi berbagai terobosan teknologi ke depan.

Hal ini tentunya harus dilihat sebagai momentum oleh para pemikir muda Indonesia yang brilian.

Mereka harus bertindak sebagai inovator ulung yang dapat melihat momentum ini sebagai celah pengabdian kepada negara.

Misalnya, membuat perangkat virtual reality (VR)/ augmented reality (AR) sebagai produk buatan anak bangsa yang kualitasnya tidak kalah dengan luar negeri.

Saat ini satu perangkat AR/VR harganya sebesar 300-600 dollar AS. Tapi, bukan tidak mungkin para inovator bangsa membuat perangkat ini dengan harga yang lebih murah tapi kualitas yang lebih baik.

Ketika harganya semakin murah, metaverse semakin accessible untuk seluruh elemen lapisan masyarakat. Kita semua akan menikmati metaverse.

Memang harganya akan mahal di awal karena masih dalam tahap trial and error. Namun ke depan, harganya akan semakin turun hingga dalam tahap semuanya bisa membeli.

Terlebih, sekarang metaverse masih dalam tahap eksplorasi dan masih mencari formula yang tepat.

Meskipun demikian, pemerataan infrastruktur digital memang harus dilakukan, terutama di daerah 3T (terluar, tertinggal, dan terdepan).

Metaverse membutuhkan internet dengan kecepatan yang tinggi dan apabila Indonesia ingin membangun metaverse, akses dan kecepatan internet perlu ditingkatkan.

Kolaborasi lintas sektor perlu lebih digalakkan. Oleh karena itu, grand design pendidikan masa depan perlu dirumuskan menyesuaikan dengan dinamika dan perkembangan teknologi.

Apalagi pola belajar hybrid (kombinasi online dan offline) kemungkinkan akan menjadi pilihan.

Dengan kata lain, keseimbangan antara berada di dunia nyata dan digital perlu dijaga agar tidak menimbulkan adiksi terhadap virtual reality.

Hukum dan etika dalam pendidikan juga perlu menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Dua hal ini penting untuk keberlangsungan pendidikan di dunia nyata maupun di dunia maya.

Perlu juga keseimbangan bagaimana kita belajar di dunia nyata maupun di dunia maya.

Karena, tujuan kita belajar adalah bagaimana kita berkontribusi untuk menyelesaikan masalah di dunia nyata.

Peran pendidik, baik guru, dosen serta tenaga kependidikan perlu didefinisikan sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Guru dan dosen saat ini memang menjadi fasilitator.

Akan tetapi, kemungkinan berubah peran juga terbuka. Kita masih belum mengetahui bagaimana metaverse berdampak terhadap peran semua pihak.

Produktivitas penggunaan internet dalam pendidikan tercermin pada kenyataannya peserta didik mampu belajar dengan mudah dan mereka mau menerima tugas dengan hadirnya teknologi baru (Mura & Diamantini, 2014).

Semestar digital ‘metaverse’ adalah semesta kolaboratif. Selama ini kolaborasi nyata dan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan karena kita mengetahui apa yang terjadi di dunia nyata kita.

Pola pikir ini yang perlu dijaga agar inovasi yang dilakukan di metaverse memang bertujuan untuk memecahkan masalah nyata dunia global.

Perguruan tinggi yang melengkapi institusinya dengan infrastruktur digital yang mumpuni dan dijalankan dengan sumber daya manusia yang melek teknologi akan bertumbuh dan lahir sebagai pemimpin baru dalam dunia pendidikan.

Saya optimis bahwa dunia pendidikan Indonesia terus bisa beradaptasi dan menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang berdaya saing global, kompetitif, inovatif dan berjiwa kewirausahaan ke depannya.

Kita semua punya peran untuk memastikan akses pendidikan yang merata bagi semua. Bukan hanya kementerian dan berbagai pihak berwenang, tetapi seluruh elemen masyarakat.

Termasuk Anda yang sedang membaca akhir dari artikel ini.

Apabila semua pihak hadir, turun tangan, bahu membahu, mampu serta mau berkolaborasi dan bersinergi aktif, kita bisa percaya diri membangun peradaban metaverse dunia Pendidikan ala Nusantara.

Bersiap-siaplah, lekas berbenah, beradaptasi ‘redefining value of education’ dengan menguatkan esensi pendidikan dan stay relevant!

https://www.kompas.com/edu/read/2022/01/22/114703371/semesta-digital-metaverse-pendidikan-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke