KOMPAS.com - Sebagai wilayah rawan bencana, Indonesia memerlukan banyak kesiapsiagaan relawan untuk mengatasi bencana. Namun menjadi relawan pun butuh pengetahuan serta keterampilan dasar baik.
Solidaritas sosial yang kerap muncul di lingkup masyarakat kecil dan berbasil kearifan lokal pascabencana juga perlu dioptimalkan menjadi metodologi guna bangun manajemen bencana.
Hal ini mengemuka dalam Dialog Kemanusiaan "Bencana dan Pelembagaan Solidaritas Sosial" yang digelar Forum Solidaritas Kemanusiaan (FSK), Sabtu 11 Desember 2021.
Akademisi Universitas Islam Indonesia Prof. Sarwidi mengatakan, solidaritas sosial memang kerap muncul di lingkup masyarakat kecil dan berbasil local wisdom. Agar semakin maksimal, maka perlu satu metodologi untuk bangun manajemen bencana.
"Jika dibekali dengan pengetahuan, maka solidaritas sosial ini akan tumbuh bersama dengan hal yang kita bangun. Bila dampak bencana kalau tak dikelola dengan baik, risiko semakin besar," jelas Prof. Sarwidi.
Dalam kesempatan sama, Sekretaris Jenderal Palang Merah Indonesia (PMI) Sudirman Said mengatakan, tidak semua orang bisa mengatasi bencana. Makanya diperlukan skill tertentu untuk bisa terlibat dalam penanganan bencana.
"Pada banyak kejadian bencana, kita bersyukur atas spontanitas masyarakat membantu korban, datang berbondong-bondong ke lokasi. Agar relawan dapat memberikan solusi, diperlukan pengetahuan dan ketrampilan dasar," katanya.
Diakuinya, basis solidaritas memang banyak muncul di kalangan masyarakat umum. Menurutnya, ini aset besar dan harus dilekola sebaik-baiknya.
"Masyarakat sosial kita ini solidaritasnya tinggi, sangat terbukti juga di saat Covid-19 ini, banyak muncul kedermawanannya dan saling bantu di kalangan masyarakat awam."
"Sebagai wadah solidaritas, perlu ada kelembagaan agar jadi efektif. Juga perlu knowledge repository atau simpanan pengetahun dan ada pembagian tugas yang jelas," tambahnya.
Tenaga Sukarela
Sudirman yang juga Koordinator Nasional Forum Solidaritas Kemanusiaan (FSK) ini, di PMI sendiri basis relawan ada di kabupaten dan kota, dengan demikian gerakan mereka ke wilayah yang terkena bencana menjadi lebih cepat.
Dia menambahkan, "penguatan relawan berbasis grass root, akan menjadi tulang punggung kesiagaan masyarakat."
Kalau di lingkup PMI, Tenaga Sukarela (TSR) yang direkrut dari perseorangan dari kalangan masyarakat yang berlatar belakang profesi atau memiliki ketrampilan tertentu. Misalnya dokter, ahli gizi, sanitasi, akuntan, logistik, teknisi, pertanian, jurnalis, seniman/artis, teknologi komunikasi, guru, dan lainnya, serta bersedia menjadi relawan PMI.
Kalangan profesional yang berminat ingin bergabung dengan PMI dapat menghubungi Markas PMI Kota/Kabupaten atau PMI Provinsi setempat kemudian mengikuti orientasi kepalangmerahan, sebelum dilibatkan dalam berbagai kegiatan kemanusiaan.
"Mereka akan direkrut bilamana PMI mempunyai program kegiatan pelayanan yang memerlukan tenaga relawan dengan spesifikasi yang terkait, untuk ditugaskan di lokasi operasi kemanusiaan tersebut," ucapnya.
Lalu apa syarat menjadi anggota TSR?
Persyaratan TSR bagi WNA:
“Belum lama ini PMI mendapatkan status sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) bidang Kemanusiaan. Dengan status ini PMI dapat menyelenggarakan program peningkatan kompetensi kebencanaan, dari pelatihan sampai dengan ujian kompetensi," tutupnya.
https://www.kompas.com/edu/read/2021/12/13/164805871/akademisi-uii-agar-solidaritas-sosial-optimal-butuh-metodologi-manajemen