Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cerita Indra Rudiansyah, Alumnus ITB yang Bergabung di Tim AstraZeneca

KOMPAS.com - Vaksin yang terbaik adalah vaksin yang tersedia saat itu juga. Mungkin kalimat ini cocok bagi siapa pun yang menanyakan dari sekian jenis vaksin, manakah yang ampuh melawan virus Covid-19?

Peneliti vaksin AstraZeneca asal Indonesia yang juga mahasiswa doktoral Clinical Medicine di Universitas Oxford, Indra Rudiansyah, menjawab pertanyaan tersebut. Ia mengatakan, vaksin Covid-19 terbaik pada dasarnya adalah vaksin yang tersedia.

Karena fokusnya menuntaskan pandemi Covid 19 dengan membentuk herd immunity atau kekebalan kelompok, tentu pilihan terbaik adalah mempercepat vaksinasi, bukan memilih vaksinasi.

Indra menjelaskan, vaksinasi adalah cara lain selain terinfeksi untuk membentuk kekebalan. Memang, infeksi atau penularan adalah cara alami untuk membentuk kekebalan, tetapi cara tersebut memiliki risiko kematian yang tinggi. Untuk menghindari risiko tersebut, satu-satunya cara adalah vaksinasi.

"Melalui virus natural kita biarkan saja terinfeksi virus Sars-Cov-2, kemudian kita sakit, sembuh, kemudian memiliki kekebalan, atau melalui vaksinasi," ujar Indra dalam bincang media secara virtual, Kamis (29/7/2021).

Sejak bergabung di tim Jenner Institute dan Oxford Vaccine Group yang mengembangkan vaksin tersebut pada Januari 2020, Indra makin memahami efek pandemi ini akan semakin panjang kalau orang tidak sadar betapa seriusnya penggunaan vaksin.

"Kadang-kadang yang memperlambat vaksin adalah keraguan setelah mendapat info hoaks. Sebetulnya, vaksin tidak memiliki efek berbahaya. Justru hoaks inilah yang memiliki efek berbahaya ke depannya," Kata dia.

Misalnya kondisi KIPI. Ia menjelaskan, semua vaksin pasti memiliki efek samping, seperti demam yang terjadi 1-2 hari.

"Dan jika KIPI ringan pun bisa berkonsultasi melalui WA. Kalau tidak kuat, ada obat yang bisa diresepkan untuk meredakan efek samping. Jadi info kalau habis vaksin bakal sedramatis info yang tersebar di masyarakat, saya rasa tidak sampai begitu," kata penerima Beswan Djarum ini.

Selama di Inggris, kiprahnya membantu penemuan vaksin AstraZeneca cukup panjang. Awalnya, penelitian vaksin AstraZeneca hanya dilakukan oleh sedikit orang, karena waktu itu tak ada yang menyangka pandemi Covid-19 akan besar dan berkepanjangan.

Akhirnya tim peneliti membutuhkan bantuan lebih banyak orang, sehingga Indra mendaftarkan diri.

"Saya akhirnya mendapat tugas untuk membantu monitoring antibodi respons di antara para volunteer dalam uji klinis. Jadi memang orang yang terlibat itu sangat banyak bisa ratusan dan di berbagai tempat di UK, tidak hanya di Oxford," ujar Indra.

Ia mengatakan, membuat vaksin itu tidak mudah. "Vaksin itu sesuatu yang challenging. Karena vaksin itu high technology, jadi saya berkesempatan untuk bisa belajar banyak hal melalui teknologi yang terbaik, dengan pengetahuan studi klinis dari orang-orang terhebat di dunia di dunia yang memang mereka advance dengan teknologi vaksinasi," ujarnya.

Dalam kariernya sebagai peracik vaksin, Indra beberapa kali menemui kegagalan. Misalnya, concern dia pada vaksin malaria. Ia memiliki 12 desain vaksin malaria, tapi hanya 1 atau 2 yang memberikan sinyal prospektif.

"Kalau dukanya, pembuatan vaksin itu tidak gampang. Contohnya berkaitan dengan kegagalan. Saya dengan vaksin malaria sendiri, saya sudah mencoba mendesain beberapa vaksin malaria, mungkin ada 10-12 vaksin yang sudah saya coba buat. Dari sekian banyak tersebut, mungkin hanya 1-2 yang memiliki sinyal prospektif. Itu juga belum tentu bisa bekerja ketika di manusia" ujarnya.

Membuat vaksin itu sulit, malah ditimpa hoaks

Untuk itu, kalau ada yang menyebarkan hoaks mengenai vaksin, Indra ikut meluruskan kekeliruan yang ada. "Saya sendiri sangat jelas mengetahui apa itu kandungan dari masing-masing vaksin," jelas Indra.

Seperti isu ada chip dalam vaksin, Indra mengatakan, keterlibatan Bill Gates dalam men-support vaksin menjadi dasar munculnya hoaks. "Mungkin karena beliau kan latar belakangnya IT, dikaitkan dengan isu chip. Jadi tidak benar kalau mengandung chip," kata dia.

Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengatakan, vaksin mengandung bahan dari virus yang sudah dimatikan atau dilemahkan atau sebagian kecil dari protein-protein penting dari virus atau bakteri yang digunakan sebagai bahan baku utama vaksin.

Beberapa vaksin memang ada yang diberi tambahan. Misalnya, larutan penyangga yang berfungsi menstabilkan virus atau protein sehingga tidak mudah hancur.

"Kemudian, ada larutan lainnya untuk menstabilkan kondisi dalam tubuh karena cairan tubuh dan cairan air biasa berbeda. Jadi kita harus me-maintain agar sesuatu yang dimasukkan dalam tubuh itu isotonik atau seimbang dengan kondisi cairan dalam tubuh," imbuh Indra.

Karena efek samping vaksin Covid-19 berbeda pada tiap penerima, sempat muncul sejumlah pihak yang mempertanyakan kandungan cairan vaksin. Ada yang bilang isinya air garam.

Indra menjelaskan, beberapa jenis vaksin, khususnya yang diberikan secara oral, memang mengandung gula. Akan tetapi, komponen tersebut ada dengan fungsi menstabilkan kandungan vaksin.

"Beberapa vaksin, misalnya yang oral itu ada ditambahkan suatu gula sehingga selain untuk menstabilkan komponennya," Jelasnya. Termasuk juga untuk vaksin seperti polio yang ditambahkan semacam gula untuk memberikan rasa manis selain untuk menstabilkan dari vaksinnya tersebut sendiri.

"Dan beberapa penstabil lainnya ketika vaksin, itu harus disimpan dalam suhu yang sangat rendah," pungkas Indra.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/07/30/101455671/cerita-indra-rudiansyah-alumnus-itb-yang-bergabung-di-tim-astrazeneca

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke