Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kemendikbud Ristek: Konsep "Link and Match" Dongkrak Pendidikan Vokasi

KOMPAS.com - Sinergi antara pendidikan vokasi dan industri amat penting dalam peningkatan kapasitas serta kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan.

Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud Ristek, Wikan Sakarinto mengatakan, saat ini, koneksi antara keduanya belum begitu optimal.

Salah satu upaya yang harus ditempuh adalah penguatan konsep link and match kepada pelaku industri.

Menurut dia, konsep link and match ini terdiri dari delapan standar. Pertama, kurikulum disusun bersama.

Wikan mengaku, kurikulum akan di refom agar lebih berat pada pembentukan karakter dan soft skill dari pada hard skill.

"Hard skill dan produktif iya, tetapi kita dikeluhkan, karena lulusan kita kurang komunikasi, kurang mampu menghadapi tekanan dunia kerja, kita akan fokuskan kalau kita menyusun kurikulum bersama dengan industri itu soft skill karakternya kuat, hard skill akan otomatis kuat," ucap dia dalam keterangan resminya, Sabtu (17/7/2021).

Kedua, kata dia, pembelajaran berbasis project riil dari dunia kerja (PBL). Tujuannya adalah untuk memastikan hard skill akan disertai soft skill dan karakter yang kuat.

Ketiga, jumlah dan peran guru, dosen, instruktur dari industri dan ahli dari dunia kerja, ditingkatkan secara signifikan sampai minimal mencapai 50 jam per semester, per program studi.

"Jadi, dosen-dosen dari Kadin harus rutin kita hadirkan di kelas. Sejak semester satu, anak-anak kita sudah diekspos dengan kondisi nyata," tambah Wikan.

Poin keempat merupakan optimalisasi magang atau praktik kerja di industri atau dunia kerja. Menurutnya minimal dirancang satu semester sejak awal.

“Jangan sampai langsung lompat ke nomor empat, sedangkan poin 2 dan 3 belum kita lakukan,” tuturnya.

Adapun yang kelima adalah sertifikasi kompetensi, yang sesuai standar dan kebutuhan dunia kerja (bagi lulusan dan dosen, guru/instruktur).

Kemudian dosen/guru/instruktur secara rutin mendapatkan update teknologi dan pelatihan dari dunia kerja.

"Aspek ketujuh cukup krusial yakni riset terapan mendukung teaching factory atau teaching industry," jelas dia.

Wikan menjelaskan, ketika bicara riset terapan, tidak bisa langsung lompat ke riset terapan.

Ini bagian dari link and match. Riset terapan yang tepat itu teaching factory/teaching industry harus bermula dari kasus nyata di industri atau masyarakat.

"Sehingga kebijakan kita untuk riset terapan itu ya ini, start from the end," ungkap dia.

Wikan menyebutkan riset itu dimulai dari Market Readiness Level (MRL) bersama industri atau bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin).

Kemudian merancang kalau kelak produk mereka nanti sudah selesai, bagaimana memproduksi massal dan mengirimkannya ke pasar atau masyarakat.

"Harus ada Venture Readiness Level (VRL). Jadi kita harus punya kesiapan mitra industri yang nanti memproduksi masal. Karena kalau kampus atau SMK diminta untuk memproduksi massal itu ya salah," kata dia.

Kampus vokasi atau sekolah menengah kejuruan (SMK) adalah pabrik ide atau pabrik prototype dan dilahirkan bersama dengan industri.

Baru setelah itu Tehnical Readiness Level (TRL). Ini dipublikasikan setelah produk sudah jadi.

“Di HAKI, paten, atau produk register itu boleh dipublikasikan. Tapi jangan sampai mindset kita untuk melakukan link and match tadi hanya administratif," tutur Wikan.

Terakhir, komitmen serapan lulusan, oleh dunia kerja (bukan mengharuskan, tapi komitmen kuat).

“Jadi ada link and match antara pendidikan vokasi dan industri. Minimal delapan standar ini harus dilakukan kalau kita benar-benar ingin punya kualitas," tukas Wikan.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/07/17/181935871/kemendikbud-ristek-konsep-link-and-match-dongkrak-pendidikan-vokasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke