Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Angka Plagiarisme Naik, Apa Pentingnya Jadi Mahasiswa Berintegritas?

Oleh: Riana Sahrani | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

KOMPAS.com - Belajar daring, sesuai ketentuan Pemerintah melalui Kemedikbud semestinya membuat semua menjadi relatif lebih mudah.

Berdasarkan hasil survei Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara (Oktober 2020), sebagian besar mahasiswa mengaku belajar daring lebih hemat karena tidak perlu ada biaya transportasi dan juga kost (apabila dari luar kota), semua bahan bacaan dapat ditelusuri dengan internet, dan lain sebagainya.

Namun demikian ada juga sisi negatif pembelajaran daring, antara lain adalah rentan terjadi kesalahpahaman atau perbedaan persepsi antara mahasiswa dengan dosen (karena komunikasi lewat media whatsapp).

Selain itu muncul pula kekurang pemahaman terhadap pembelajaran karena kuliah diberikan daring, kerja sama dengan teman dalam mengerjakan tugas kelompok menjadi kurang lancar, dan yang terparah adalah terjadinya plagiarisme.

Selama pembelajaran daring ini penulis mengamati bahwa praktek plagiarisme di kalangan mahasiswa, terus meningkat.

Dalam sebuah survei yang dilakukan menggunakan program Turnitin (salah satu program untuk mendeteksi tingkat plagiarisme) terhadap tugas yang diberikan kepada mahasiswa, ditemukan tingkat kemiripan yang tinggi.

Dari survei tersebut, dalam 75 berkas mahasiswa dalam kurun waktu sekitar 1 tahun (mulai dari Agustus 2019 sampai Oktober 2020), diperoleh data sebanyak 27 berkas mendapatkan nilai Turnitin sebesar 30 persen sampai 83 persen (36 persen dari keseluruhan berkas yang diuji).

Data ini menunjukan, bila diketemukan kemiripannya tinggi bisa diduga atau diindikasikan terjadi plagiarisme, meski masih belum bisa dikatakan plagiat karena masih perlu pembuktian lanjutan.

Meski demikian, indikasi terjadinya praktek plagiarisme tidak dapat dianggap remeh dan ada kecenderungan meningkat.

Plagiarisme, salah siapa?

Kesalahan siapakah ini semua? Menurut penulis ini bukanlah faktor tunggal karena semua faktor saling berhubungan.

Apabila dikaji dengan teori dari Urie Bronfenbrenner tahun 2006 (Ettekal & Mahoney, 2017), yaitu teori ecological systems theory yang menjelaskan peranan akrif individu dalam proses perkembangan.

Dalam teori ini dijelaskan bahwa pada dasarnya manusia terhubung dengan empat sistem lingkungan, yaitu microsystem, mesosystem, exosystem, dan macrosystem.

Penekanan pada microsystem adalah interaksi antara individu dalam suatu konteks dengan konteks lainnya. Misalnya perilaku anak merupakan interaksi dari pengaruh orang tua dan sekolah.

Sebagai contoh, anak akan menganggap perilaku mencontek tidak menjadi masalah apabila orangtua tidak memberikan perhatian pada hal ini. Anak mendapatkan nilai bagus karena hasil mencontek, tapi orangtua mengetahui dan bahkan memuji anak. Kemudian, sekolah tidak memberikan tindakan tegas, karena tidak terlalu perhatian dengan kondisi tersebut.

Pada mesosystem, terjadi adanya interaksi antara beberapa microsystem. Misalnya orangtua berinteraksi dengan guru di sekolah mengenai nilai anak.

Orangtua marah pada guru karena mengganggap guru tidak memberikan nilai yang adil pada anaknya. Guru berargumen bahwa anak melakukan kecurangan akademik di sekolah.

Namun orangtua tidak percaya dengan hal ini, karena anak di rumah selalu baik-baik saja dan tidak menunjukkan gejala melakukan kecurangan akademik.

Kemudian, pada exosystem, berisi adanya kondisi yang berperan terhadap perkembangan individu (misalnya dalam hal ini anak), namun anak tidak terlibat langsung dalam kondisi ini.

Sebagai contoh, pengaruh televisi terhadap perkembangan anak (misalnya perkembangan moral).

Anak setiap hari terpapar dengan tontonan sinetron, yang mengedepankan kehidupan mewah tapi tanpa kerja keras, misalnya. Kondisi ini dapat saja membuat anak tergerak untuk melakukan tindakan curang, karena tidak ingin berusaha lebih keras untuk mencapai tujuan.

Terakhir, macrosystem yaitu sistem yang mengelilingi semua sistem sebelumnya. Sistem ini dapat mewakili nilai, ideologi, hukum, masyarakat, dan budaya.

Menjunjung integritas

Sebagai contoh ada perbedaan budaya mengenai integritas di Indonesia dengan negara lain misalnya.

Di beberapa budaya tertentu, ada keengganan apabila berbeda dari orang lain dalam kelompoknya, sehingga hal ini menjadi salah satu pendorong orang melakukan perilaku tertentu.

Misalnya, ada siswa yang akan dirundung (bully) apabila tidak memberikan contekkan kepada temannya di saat ujian, dan lain sebagainya.

Anak harus menonton konser musik (walau sebenarnya ia tidak menyukainya), karena desakan teman-teman satu kelompoknya.

Sebagai kesimpulan, menjadi orang berintegritas bukanlah suatu hal yang mudah, karena terkait dengan banyak hal dalam dan di luar diri individu.

Namun demikian, kita harus selalu mengedepankan pemikiran positif dan menjunjung nilai-nilai kejujuran dan kebenaran, karena integritas mencerminkan diri dan identitas diri kita yang sebenarnya.

Orang menjadi mempunyai harga diri yang tinggi dan dihargai, karena menjunjung tinggi integritas dan nilai-nilai kebenaran.

https://www.kompas.com/edu/read/2020/12/07/093751071/angka-plagiarisme-naik-apa-pentingnya-jadi-mahasiswa-berintegritas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke