Ia menilai bahwa vonis hukuman mati pada kenyataannya masih mengarah pada perlakuan tidak manusiawi dibarengi dengan tidak adanya satupun bukti ilmiah yang dapat membenarkan bahwa pidana mati dapat memberikan efek jera (deterrent effect) dan menurunkan angka kejahatan.
Berdasarkan pantauan Kontras, sejauh ini sedikitnya 70 persen negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati atau melakukan moratorium.
Pemberlakuan ini tidak hanya dipandang secara politis, melainkan prinsip untuk tidak melanggar hak utama manusia yakni hak untuk hidup.
Tindakan penyiksaan, deret tunggu yang lama, ketiadaan akses kesehatan serta nihilnya unsur-unsur peradilan lainnya berimbas buruk bagi terpidana mati dan keluarganya.
Selain beberapa hak yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah, Kontras juga menyoroti praktik penyiksaan, minimnya akses kesehatan fisik dan mental, serta overcrowding lapas yang juga masih kerap dihadapi oleh terpidana mati.
"Fenomena ini tentu saja berpengaruh pada tekanan mental dan psikologis berkepanjangan yang luar biasa. Tentunya, para teripidana mati juga dihadapkan dengan kondisi yang buruk dalam pusat-pusat penahanan," kata Fatia.
Baca juga: Guinea Ekuatorial, Negara Ke-25 di Afrika yang Menghapus Hukuman Mati
Pada 2019 Kontras melakukan investigasi terkait dugaan pelanggaran hak terpidana mati dalam deret tunggu. Hasilnya sebagai berikut:
Kontras menilai bahwa tidak adanya jaminan yang jelas dalam proses deret tunggu yang terlampau lama akan berpengaruh pada tekanan mental dan psikologis berkepanjangan terhadap terpidana hukuman mati.
Hal ini diakumulasi dengan kondisi yang buruk di dalam fasilitas penahanan.
Baca juga: Dianggap Perampasan Hak Hidup secara Sewenang-wenang, 111 Negara Hapus Hukuman Mati