KOMPAS.com - Hari Anti Hukuman Mati Sedunia dan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia diperingati pada tanggal yang sama, yakni 10 Oktober setiap tahunnya.
Kedua peringatan ini mengingatkan akan minimnya perhatian kesehatan mental terpidana hukuman mati.
Indonesia menjadi salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati. Dalam rentang waktu Oktober 2021–September 2022, Kontras mencatat 31 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia.
Selama menunggu keputusan eksekusi, terpidana hukuman mati berada di bawah tekanan mental yang selama ini luput diperhatikan oleh negara. Kondisi di mana terpidana menunggu deret tunggu eksekusi mati disebut dengan death row syndrome.
Pengidap penyakit mental tak bisa dihukum mati
Fenomena deret tunggu menjadi salah satu perhatian organisasi hak asasi manusia internasional dan Kontras.
Perwakilan advokasi internasional Kontras, Nadine Sherani menjelaskan bahwa komitmen negara dalam moratorium atau penangguhan hukuman mati belum maksimal.
"Belum ada komitmen negara yang kemudian memunculkan adanya dorongan untuk minimal moratorium dalam vonis hukuman mati," kata Nadine saat menyampaikan Laporan Hari Anti Hukuman Mati Internasional yang disiarkan di YouTube KontraS, Senin (10/10/2022).
Selain mempertanyakan soal prinsip fair trial dalam penjatuhan hukuman mati, secara hukum seseorang yang mengalami penyakit mental tidak boleh dijatuhi hukuman, apalagi hukuman mati.
"Pada Pasal 44 KUHP, disebutkan di situ bahwa warga negara itu tidak boleh dijatuhkan hukuman mati apabila mengidap penyakit mental," ujar Nadine.
Siksaan yang tidak manusiawi
Hal senada juga disampaikan oleh koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti yang menyatakan bahwa fenomena deret tunggu merupakan bentuk penyiksaan.
"Fenomena deret tunggu ini seharusnya jadi catatan penting karena adanya pengaruh kondisi fisik dan mental, yang merupakan salah satu bentuk penyiksaan dan juga tindakan tidak manusiawi," ujar Fatia.
Ia menilai bahwa vonis hukuman mati pada kenyataannya masih mengarah pada perlakuan tidak manusiawi dibarengi dengan tidak adanya satupun bukti ilmiah yang dapat membenarkan bahwa pidana mati dapat memberikan efek jera (deterrent effect) dan menurunkan angka kejahatan.
Berdasarkan pantauan Kontras, sejauh ini sedikitnya 70 persen negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati atau melakukan moratorium.
Pemberlakuan ini tidak hanya dipandang secara politis, melainkan prinsip untuk tidak melanggar hak utama manusia yakni hak untuk hidup.
Tindakan penyiksaan, deret tunggu yang lama, ketiadaan akses kesehatan serta nihilnya unsur-unsur peradilan lainnya berimbas buruk bagi terpidana mati dan keluarganya.
Selain beberapa hak yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah, Kontras juga menyoroti praktik penyiksaan, minimnya akses kesehatan fisik dan mental, serta overcrowding lapas yang juga masih kerap dihadapi oleh terpidana mati.
"Fenomena ini tentu saja berpengaruh pada tekanan mental dan psikologis berkepanjangan yang luar biasa. Tentunya, para teripidana mati juga dihadapkan dengan kondisi yang buruk dalam pusat-pusat penahanan," kata Fatia.
Pada 2019 Kontras melakukan investigasi terkait dugaan pelanggaran hak terpidana mati dalam deret tunggu. Hasilnya sebagai berikut:
Kontras menilai bahwa tidak adanya jaminan yang jelas dalam proses deret tunggu yang terlampau lama akan berpengaruh pada tekanan mental dan psikologis berkepanjangan terhadap terpidana hukuman mati.
Hal ini diakumulasi dengan kondisi yang buruk di dalam fasilitas penahanan.
Contoh kasus
Fenomena deret tunggu ini telah nyata terjadi di Indonesia, yang dialami oleh terpidana mati kasus narkotika asal Brasil, Rodrigo Muxfeldt Gularte.
Rodrigo Gularte kedapatan membawa 6 kilogram kokain yang tersembunyi di dalam papan selancarnya pada 2004 dan dijatuhi hukuman mati pada 2005.
Presiden Brasil Dilma Rousseff secara pribadi telah meminta pengampunan untuk Rodrigo, tetapi permintaan ini tak digubris oleh pemerintah Indonesia.
"Padahal selama diselidiki kembali selama di sel tahanannya, beliau ternyata mengindap skizofrenia. Namun hal ini tidak ditindaklanjuti, seperti medical attention atau bala bantuan medis lainnya," ujar Nadine.
Rodrigo Gularte telah didiagnosis menderita skizofrenia, tetapi eksekusi mati tetap dijatuhkan.
Akibat kondisi mentalnya, Rodrigo tidak sadar bahwa dirinya akan menjalani eksekusi hukuman mati hingga saat-saat terakhirnya.
Ada banyak kasus serupa di berbagai negara, seperti Jepang, Pakistan dan Amerika Serikat (AS).
Mereka yang seharusnya mendapat pertolongan medis karena mengalami gangguan mental, malah dibunuh dengan cara dijatuhi hukuman mati.
Berikut nama-nama terpidana hukuman mati yang mengalami disabilitas mental, berdasarkan catatan Amnesty Internasional:
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/10/14/111100782/deret-tunggu-hukuman-mati-dinilai-penyiksaan-mental-yang-tidak