Hal ini juga terlihat dari tulisan-tulisannya yang sebagian besar hanya menggunakan nama Soedjatmoko, tanpa nama belakang, tanpa titel.
"Itu artinya, ada nilai-nilai yang dibahwa dari sini (trah Mangunarsan), di mana gelar kebangsawanan, gelar kepriayian, gelar akademik, itu coba ditanggalkan," jelas Kuncoro.
Diplomat ulung
Koko sempat menempuh sekolah dokter di Batavia, tetapi dikeluarkan pada 1943 karena terlibat dalam gerakan akar rumput dalam perlawanan terhadap Jepang.
Bersama kakak iparnya, Sutan Syahrir, Koko menjadi salah satu pemuda yang selalu berani mengkritik pemerintahan Jepang.
Setelah merdeka, Koko bersama tiga diplomat lain mewakili Indonesia dalam Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1947, di New York, Amerika Serikat (AS).
Sidang ini diselenggarakan untuk mencari jalan keluar dari konflik militer antara Indonesia dan Belanda, setelah Agresi Militer I pada 21 Juli 1947.
Koko, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, dan Soemitro Djojohadikusumo, empat orang inilah yang meyakinkan negara-negara lain untuk mengakui Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan memenuhi syarat sebagai sebuah negara.
Sambil terus melanjutkan pendidikannya, Koko menorehkan karier diplomatik yang bernas.
Menurut laman Membaca Soedjatmoko, dia menjadi wakil ketua delegasi Indonesia di PBB pada 1966, lalu pada tahun berikutnya diberikan tugas sebagai penasihat untuk delegasi PBB.
Koko sempat menjadi Duta Besar RI di Amerika Serikat pada 1968 serta menjadi penasihat Menteri Luar Negeri Adam Malik.
Koko berperan aktif dalam perdebatan internasional, terkait isu-isu global. Koko menerbitkan banyak buku soal kebebasan, pembangunan, kemiskinan, dan membahas persoalan-persoalan di Asia dan Pasifik.
Hingga pada 1978, Koko menerima Ramon Magsaysay Award atau Hadiah Nobel Asia, untuk International Understanding.
Kemudian, pada 1985, Koko menerima penghargaan Warga Asia (Asia Society Award), dan mendapat Universities Field Staff International Award untuk Distinguished Service to the Advancement of International Understanding tahun berikutnya.
Ketika Koko pindah ke Tokyo, Jepang, dia menjabat sebagai rektor Universitas PBB hingga tahun 1987.
Pemikiran Koko soal perdamaian, penyelesaian konflik, ekonomi, isu global, hingga memandang manusia sebagai insan merdeka, tak lepas dari akar kultural yang dibangun dalam keluarganya.
"Jadi pemikiran-pemikiran, nilai-nilai yang diperoleh oleh Ayah saya di sini, lewat leluhurnya, menjadi fondasi saat dia berbicara kepada komunitas internasional," ujar Kamala Chandrakirana, putri Koko, saat peluncuran dan bincang film Soedjatmoko, Sabtu (8/10/2022).
Pemikiran Koko juga tercermin dari tulisan-tulisannya sejak 1948 yang diarsipkan secara digital. "Nilai-nilai tersebut dapat dilacak melalui tulisan-tulisannya," imbuh dia.