Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soedjatmoko, Diplomat Ulung Tanpa Pangkat dan Sekat

Kompas.com - 10/10/2022, 14:00 WIB
Rosy Dewi Arianti Saptoyo,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Seorang intelektual Indonesia, Soedjatmoko, terkenal dengan pemikirannya soal ekonomi, pembangunan, serta kebebasan atau kemerdekaan manusia. Pemikirannya ini ternyata berakar dari leluhurnya, trah Mangunarsan.

Jejak kultural Soedjatmoko kembali ditelusuri dalam rangkaian peringatan 100 tahun Soedjatmoko. Ayah, saudara, dan Soedjatmoko tumbuh dengan ajaran leluhurnya yang berasal dari Madiun.

Akar kultural Soedjatmoko ini diperingati dalam kegiatan tapak tilas, diskusi, hingga peluncuran film dokumentar pada Sabtu (8/10/2022) di kediaman keluarga Mangunarso, di Madiun.

Keturunan ningrat tanpa pangkat dan sekat

Ia lahir dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat pada 10 Januari 1922. Pria yang akrab disapa Koko ini merupakan putra dari Saleh Mangoendiningrat dan Isnadikin.

Meski lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, tetapi Koko adalah keturunan Jawa.

Film dokumenter Soedjatmoko, Jejak Akar Kultural Leluhur bersumber dari rekaman wawancara yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, yang kemudian disuarakan ulang oleh seorang aktor.

Dalam wawancara itu, Koko bercerita tentang leluhurnya, keturunan bangsawan Jawa yang menjadi lurah perdikan di Desa Balerejo, Kebonsari, Madiun.

Saleh Mangoendiningrat adalah anak laki-laki tertua dari Raden Haji Mangunarso, putra kedua dari Raden Abdoelatif, seorang penghulu asal Magetan.

Sementara dari pihak Ibu, Soedjatmoko merupakan keturunan dari pensiunan Patih Ponorogo Citrokusumo.

Mangunarso yang lahir sekitar 1810, menjadi tokoh berpengaruh di lingkungannya, sejak memutuskan membangun kediaman di Balerejo pada 1845.

Setelah Perang Jawa (1825-1830), Madiun menjadi wilayah dengan sedikit penduduk. Ada upaya dari pemerintah kolonial untuk memisahkan kehidupan santri dan priayi, atau memisahkan Islam dari kejawaan.

Sehingga ini menjadi tipikal priayi pasca-perang Jawa, untuk menjaga jarak dengan kehidupan santri. Namun, keluarga Mangunarso tetap berjuang di jalur kepriayian meski tidak lepas dari Islam.

"Saya melihat ini di keluarga Mangunarso, walaupun mereka tidak benar-benar lepas dari keislaman, namun memilih jalur berjuang lewat kepriayian. Ini menjadi sebuah pilihan yang cerdas ketika itu," ujar Akhlis Syamsal Qomar, penulis dan sejarawan.

Keluarga Mangunarso sendiri yang tidak mau menggunakan gelar keraton, seperti raden, mas, raden ayu, atau pun raden ajeng. Meski berdasarkan silsilah, mereka merupakan keturunan ningrat.

"Di sana tidak ada gelar bangsawan, tidak ada gelar pendidikan, namun hanya menggunakan dua gelar. Untuk laki-laki yakni Ki dan untuk perempuan Ni. Itu bagaimana meleburkan keluarga Mangunarso yang tanpa sekat, tanpa pangkat, dan tanpa gelar embel-embel lainnya," jelasnya.

Hal senada juga disampaikan sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta, Kuncoro Hadi. Ia menuturkan, Mangunarso sudah mengajarkan untuk menjadi manusia Jawa yang modern.

"Meski mendapat pendidikan Barat dan menjadi dokter di era kolonial, tetapi dia tetap mempertahankan priayi dengan konteks baru. Mereka menanggalkan ortodoks priayi," ujar Kuncoro kepada Kompas.com, Sabtu (8/10/2022).

Kuncoro mengatakan, dalam berbagai kesempatan Koko selalu berusaha menanggalkan titel akademik dan kebangsawanannya.

Hal ini juga terlihat dari tulisan-tulisannya yang sebagian besar hanya menggunakan nama Soedjatmoko, tanpa nama belakang, tanpa titel.

"Itu artinya, ada nilai-nilai yang dibahwa dari sini (trah Mangunarsan), di mana gelar kebangsawanan, gelar kepriayian, gelar akademik, itu coba ditanggalkan," jelas Kuncoro.

Diplomat ulung

Koko sempat menempuh sekolah dokter di Batavia, tetapi dikeluarkan pada 1943 karena terlibat dalam gerakan akar rumput dalam perlawanan terhadap Jepang.

Bersama kakak iparnya, Sutan Syahrir, Koko menjadi salah satu pemuda yang selalu berani mengkritik pemerintahan Jepang.

Setelah merdeka, Koko bersama tiga diplomat lain mewakili Indonesia dalam Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1947, di New York, Amerika Serikat (AS).

Sidang ini diselenggarakan untuk mencari jalan keluar dari konflik militer antara Indonesia dan Belanda, setelah Agresi Militer I pada 21 Juli 1947.

Koko, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, dan Soemitro Djojohadikusumo, empat orang inilah yang meyakinkan negara-negara lain untuk mengakui Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan memenuhi syarat sebagai sebuah negara.

Potret Saleh Mangundiningrat dan istrinya, Isnadikin yang terpasang di kediaman Keluarga Besar Mangunarsan, Desa Balerejo, Kecmatan Kebonsari, Kabupaten Madiun. Mereka adalah orangtua dari intelektual independen Indonesia, Soedjatmoko.KOMPAS.com/Rosy Dewi Potret Saleh Mangundiningrat dan istrinya, Isnadikin yang terpasang di kediaman Keluarga Besar Mangunarsan, Desa Balerejo, Kecmatan Kebonsari, Kabupaten Madiun. Mereka adalah orangtua dari intelektual independen Indonesia, Soedjatmoko.

Sambil terus melanjutkan pendidikannya, Koko menorehkan karier diplomatik yang bernas.

Menurut laman Membaca Soedjatmoko, dia menjadi wakil ketua delegasi Indonesia di PBB pada 1966, lalu pada tahun berikutnya diberikan tugas sebagai penasihat untuk delegasi PBB.

Koko sempat menjadi Duta Besar RI di Amerika Serikat pada 1968 serta menjadi penasihat Menteri Luar Negeri Adam Malik.

Koko berperan aktif dalam perdebatan internasional, terkait isu-isu global. Koko menerbitkan banyak buku soal kebebasan, pembangunan, kemiskinan, dan membahas persoalan-persoalan di Asia dan Pasifik.

Hingga pada 1978, Koko menerima Ramon Magsaysay Award atau Hadiah Nobel Asia, untuk International Understanding.

Kemudian, pada 1985, Koko menerima penghargaan Warga Asia (Asia Society Award), dan mendapat Universities Field Staff International Award untuk Distinguished Service to the Advancement of International Understanding tahun berikutnya.

Ketika Koko pindah ke Tokyo, Jepang, dia menjabat sebagai rektor Universitas PBB hingga tahun 1987.

Pemikiran Koko soal perdamaian, penyelesaian konflik, ekonomi, isu global, hingga memandang manusia sebagai insan merdeka, tak lepas dari akar kultural yang dibangun dalam keluarganya.

"Jadi pemikiran-pemikiran, nilai-nilai yang diperoleh oleh Ayah saya di sini, lewat leluhurnya, menjadi fondasi saat dia berbicara kepada komunitas internasional," ujar Kamala Chandrakirana, putri Koko, saat peluncuran dan bincang film Soedjatmoko, Sabtu (8/10/2022).

Pemikiran Koko juga tercermin dari tulisan-tulisannya sejak 1948 yang diarsipkan secara digital. "Nilai-nilai tersebut dapat dilacak melalui tulisan-tulisannya," imbuh dia.

Kamala menjelaskan, pemikiran sang ayah tidak lepas dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh Mangunarso dalam keluarganya.

Berbeda dengan keluarga priayi pada umumnya yang membagi-bagikan harta ketika kepala keluarga meninggal, keluarga Mangunarso memilih untuk memelihara bersama rumah dan warisan mereka.

Dalam film dokumenter, Kamala menjelaskan bahwa kediaman Mangunarso dan segala warisannya hanyalah wadah semata. Sementara, nilai-nilai kehidupan yang dipegang oleh trah Mangunarsan menjadi fondasi utamanya.

"Di rumah itu ada doa untuk anak-anaknya, supaya berjiwa satria, supaya punya watak perwira, supaya mengabdi kepada masyarakat. Ini adalah nilai-nilainya," pungkas Kamala.

Berjarak dengan kekuasaan

Meski terlibat dalam kemerdekaan Indonesia, hingga menjabat beberapa posisi di pemerintahan, Koko memiliki sekat khusus untuk berjarak dengan kekuasaan.

Meski sempat bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia, Koko dipandang sebagai intelektual independen.

"Karena dia sangat egaliter dan otonom juga, meski dia seorang sosialis, tetapi dia jelas bahwa dia memandang humanisme dengan sangat tinggi. Namun di Indonesia, dia berjarak, tidak masuk politik praktis," ungkap Kuncoro.

Belakangan, Indonesia menjadi sorotan karena sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyak, tetapi menolak pembahasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Muslim Uighur Xinjiang, China dalam sidang Dewan HAM PBB, Oktober 2022.

Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kemenlu RI, Achsanul Habib mengatakan, keputusan untuk abstain dalam pembahasan tersebut karena tidak ingin dipolitisasi oleh negara yang berkepentingan.

"Mengapa kita posisi no (tidak/menolak) adalah karena kita tidak ingin adanya politisasi Dewan HAM yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang terkait, misalnya dengan rivalitas politik," kata Habib seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (7/10/2022).

Kamala Chandrakirana, putri Soedjatmoko menjelaskan mengenai arsip digital dari tulisan-tulisan ayahnya ketika peluncuran dan bincang film Soedjatmoko, Sabtu (8/10/2022) di Desa Balerejo, Kebonsari, Madiun.KOMPAS.com/Rosy Dewi Kamala Chandrakirana, putri Soedjatmoko menjelaskan mengenai arsip digital dari tulisan-tulisan ayahnya ketika peluncuran dan bincang film Soedjatmoko, Sabtu (8/10/2022) di Desa Balerejo, Kebonsari, Madiun.

Kuncoro memandang, sikap yang diambil semacam itu mencerminkan bagaimana pemikiran Koko soal kebebasan dan kemanusiaan belum diterapkan secara maksimal.

Padahal dalam perannya di PBB dan isu-isu global, Koko sangat lantang berbicara soal kemanusiaan, kemerdekaan, perdamaian, serta penyelesaian konflik global.

"Secara umum, dia juga membahas soal humanisme, yang pasti juga berkaitan dengan posisi Indonesia dalam lingkup dunia," terang Kuncoro.

"Pemikiran Soedjatmoko saat dia menjadi rektor Universitas PBB, bahkan saat menjadi duta besar di New York, Amerika, juga selalu berbicara soal HAM dan humanisme secara universal," tutur dia.

Menurut Kuncoro, jarak dengan kekuasaan dalam konteks di Indonesia, membuat Koko kurang memiliki pengaruh secara politik, meski pemikirannya sangat bernas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

INFOGRAFIK: Beredar Hoaks Pasukan Rusia Hadir di Gaza untuk Bantu Palestina

INFOGRAFIK: Beredar Hoaks Pasukan Rusia Hadir di Gaza untuk Bantu Palestina

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Hoaks Timnas Guinea Didiskualifikasi dari Olimpiade Paris, Simak Bantahannya

INFOGRAFIK: Hoaks Timnas Guinea Didiskualifikasi dari Olimpiade Paris, Simak Bantahannya

Hoaks atau Fakta
Tidak Ada Bukti Kastil Terbengkalai di Perancis Milik Korban Titanic

Tidak Ada Bukti Kastil Terbengkalai di Perancis Milik Korban Titanic

Hoaks atau Fakta
Bagaimana Status Keanggotaan Palestina di PBB?

Bagaimana Status Keanggotaan Palestina di PBB?

Hoaks atau Fakta
Klub Eropa dengan Rekor Tak Terkalahkan, dari Benfica sampai Leverkusen

Klub Eropa dengan Rekor Tak Terkalahkan, dari Benfica sampai Leverkusen

Data dan Fakta
[HOAKS] Temukan Kecurangan, FIFA Putuskan Indonesia Vs Uzbekistan Diulang

[HOAKS] Temukan Kecurangan, FIFA Putuskan Indonesia Vs Uzbekistan Diulang

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Manipulasi Foto Rihanna Hadiri Met Gala 2024

INFOGRAFIK: Manipulasi Foto Rihanna Hadiri Met Gala 2024

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Konten AI, Video Iwan Fals Nyanyikan Lagu Kritik Dinasti Jokowi

[KLARIFIKASI] Konten AI, Video Iwan Fals Nyanyikan Lagu Kritik Dinasti Jokowi

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Raja Denmark Frederik X Kibarkan Bendera Palestina

[HOAKS] Raja Denmark Frederik X Kibarkan Bendera Palestina

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Pembegalan di Kecamatan Cicalengka Bandung pada 7 Mei

[HOAKS] Pembegalan di Kecamatan Cicalengka Bandung pada 7 Mei

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Serangan Serentak 5 Negara ke Israel

[HOAKS] Serangan Serentak 5 Negara ke Israel

Hoaks atau Fakta
[VIDEO] Konteks Keliru soal Pertemuan Jokowi dan Megawati pada 2016

[VIDEO] Konteks Keliru soal Pertemuan Jokowi dan Megawati pada 2016

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Manipulasi Foto Ikan Raksasa Bernama Hoggie, Simak Penjelasannya

INFOGRAFIK: Manipulasi Foto Ikan Raksasa Bernama Hoggie, Simak Penjelasannya

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Tidak Benar Prabowo Bantah Janjinya di Pilpres 2024

[KLARIFIKASI] Tidak Benar Prabowo Bantah Janjinya di Pilpres 2024

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Indonesia Dilanda Gelombang Panas 40-50 Derajat Celcius

[HOAKS] Indonesia Dilanda Gelombang Panas 40-50 Derajat Celcius

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com