Dalam menghadapi kampanye hitam yang kerap disebar di media sosial itu, kepercayaan publik terhadap pers justru terendah dibanding lembaga demokrasi lain terkait Pemilu 2019.
Dilansir dari Kompas.com, kepercayaan publik terhadap pers memperoleh 66,3 persen responden. Salah satu penyebab ketidakpercayaan adalah banyaknya hoaks yang beredar.
Hal itu merujuk pada hasil survei terkait Pemilu 2019, oleh Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sekarang BRIN, yang dilakukan sejak 25 April sampai 5 Mei 2019.
Sementara survei Edelman Trust Barometer 2021 menunjukkan pers Indonesia mendapatkan poin kepercayaan publik 72, yang merupakan tertinggi dibandingkan pers negara lainnya.
Dilansir dari Kompas.id, di tengah maraknya buzzer, pers memiliki tantangan untuk terus mengurangi misinformasi dan ketidakpastian informasi serta tetap relevan.
Baca juga: AJI: Kualitas Demokrasi Jadi Tantangan Pemilu 2024
Menurut Ika, relevansi berita terhadap kepentingan publik sangat penting agar kepercayaan masyarakat pada pers meningkat, alih-alih hanya jadi amplifikasi kepentingan politik dan ekonomi para elite.
Untuk itu dibutuhkan independensi redaksi media massa dan wartawan sehingga terbebas dari intervensi kepentingan politik dan ekonomi, termasuk dari pemilik media.
"Artinya semakin kita tidak bisa independen dan semakin kita hanya amplifikasi agenda politik dan ekonomi dari para elit, di situlah publik akan semakin tidak percaya kepada media," kata Ika lagi.
Pihaknya pun mendorong masyarakat kritis terhadap informasi yang diterimanya, termasuk munculnya pemantau media berdasarkan fungsi pers dan kode etik jurnalistik.
Hoaks bisa jadi banyak beredar di media sosial. Namun, ternyata berpengaruh pada kepercayaan publik terhadap media massa, sesuai survei LIPI untuk Pemilu 2019.
Untuk Pemilu 2024, bahkan hoaksnya telah muncul sejak tahun 2022, sebagaimana yang Kompas.com beritakan di sini dan di sini, dan diperkirakan akan semakin banyak jelang Pemilu 2024.