KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ika Ningtyas menilai kualitas demokrasi menjadi tantangan tersendiri dalam menangkal hoaks pemilihan umum (Pemilu) 2024 mendatang.
"Beberapa hal yang perlu kita lihat tantangan-tantangan yang kita hadapi, karena kita mengahadapi kualitas demokrasi kita yang turun," ujar Ika, dalam diskusi Lawan Hoaks yang diadakan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dan ICT Watch di Hotel Mercure Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/5/2022).
Pernyataan tersebut dia kaitkan dengan fakta bahwa ada banyak jurnalis dan aktivis yang dikriminalisasi, penggunaan UU ITE untuk memenjarakan orang yang tidak sependapat.
Bahkan, dia melanjutkan, pelabelan hoaks pada karya-karya jurnalistik yang sudah terverifikasi kebenarannya.
Baca juga: Ketum AJI Indonesia Sasmito Madrim Jadi Korban Serangan Peretasan dan Disinformasi
Secara khusus, jurnalis dan pemeriksa fakta secara nyata menghadapi ancaman doxing dari kelompok-kelompok tertentu yang tidak senang dengan pemberitaan mereka.
Kasus-kasus tersebut, menurut Ika, juga berpengaruh terhadap bagaimana masyarakat berani menggunakan hak berbicara dan berekspresinya di media sosial.
"Hak kebebasan berekspresi terancam, beberapa riset juga menyebut masyarakat takut mengeskpresikan pendapat dan hak bicaranya di media sosial," ujar Ika.
Hal ini berpengaruh terhadap kualitas demokrasi, termasuk proses pemilu.
Baca juga: Jaringan CekFakta Kecam Peretasan dan Serangan Disinformasi kepada Ketum AJI Indonesia
Di tengah kecenderungan sebagian masyarakat yang takut untuk berekspresi di media sosial, muncul disinformasi yang dapat memengaruhi persepsi publik.
"Tren lainnya adalah bentuk-bentuk disinformasi yang bertujuan untuk memanipulasi publik, itu semakin meningkat juga paling tidak sejak 2020," ucap Ika.
Dia mencontohkan mengenai riset yang dilakukan ISEAS dan LP3ES mengenai, bagaimana disinformasi bisa memengaruhi pendapat publik tentang kebijakan tertentu.
Misalnya, pada RUU KPK 2019 yang mendapat kritik besar-besaran dari masyarakat. Kemudian, muncul isu mengenai taliban, kemudian memengaruhi pendapat publik mengenai RUU KPK sehingga akhirnya kini diloloskan menjadi UU.
Pola sama juga terjadi pada RUU Omnibuslaw dan kebijakan new normal yang berkaitan dengan penanganan Covid-19.
Ika berpendapat, pola yang sama juga dapat diterapkan sebagai bentuk kampanye terhadap calon tertentu.
Baca juga: AJI: Pemerintah Jangan Sembarang Cap Hoaks di Kasus Wadas