KOMPAS.com - Dampak buruk dari perubahan iklim semakin terlihat dari tahun ke tahun. Mulai dari meningkatnya intensitas gelombang panas, kebakaran liar, naiknya permukaan laut, dan badai ekstrem yang semakin sering terjadi.
Emisi karbon yang disebabkan aktivitas manusia menjadi penyebab utama perubahan iklim, salah satunya disumbang oleh penggunaan bahan bakar fosil.
Berbagai negara telah berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, dan mencari alternatif melalui bahan bakar terbarukan.
Meski demikian, perusahaan penambang bahan bakar fosil ternyata berupaya menghalangi upaya tersebut dengan menyebarkan disinformasi selama bertahun-tahun.
Dilansir dari AP News, ketika negara-negara di seluruh dunia setuju untuk mengurangi emisi karbon melalui Protokol Kyoto pada 1998, perusahaan bahan bakar fosil Amerika Serikat merespons dengan strategi agresif untuk menanamkan keraguan terhadap perubahan iklim.
Menurut memo American Petroleum Institute, "Kemenangan akan dicapai ketika rata-rata warga negara 'memahami' (mengakui) ketidakpastian dalam ilmu iklim".
Lebih lanjut, memo itu mengatakan, "Kecuali 'perubahan iklim' tak lagi menjadi masalah... mungkin tidak ada momen ketika kita bisa mendeklarasikan kemenangan."
Memo yang bocor ke The New York Times pada 1998 itu, menguraikan bagaimana perusahaan bahan bakar fosil dapat memanipulasi jurnalis dan masyarakat luas dengan memainkan "kedua sisi" dari perdebatan emisi karbon, dan menggambarkan mereka yang berusaha mengurangi emisi sebagai pihak yang "tidak peduli pada realita."
Mulai tahun 1980-an dan 1990-an, ketika kesadaran publik akan perubahan iklim tumbuh, perusahaan bahan bakar fosil menggelontorkan jutaan dolar untuk kampanye melawan gagasan perubahan iklim.
Mereka mendanai lembaga think tank untuk menyuarakan pandangan-pandangan yang dirancang agar terlihat seperti ada dua pihak yang sah dalam perselisihan tersebut.
Pendekatan tersebut kini melunak karena dampak perubahan iklim menjadi lebih jelas.
Sekarang, perusahaan bahan bakar fosil lebih cenderung bersikap pro-lingkungan, menggembar-gemborkan energi terbarukan seperti matahari dan angin atau inisiatif yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi energi atau mengimbangi emisi karbon.
Pendekatan agresif untuk mengatasi perubahan iklim sekarang ditolak bukan karena alasan ilmiah tetapi karena alasan ekonomi.
Ben Franta, seorang pengacara, penulis dan peneliti Universitas Stanford yang melacak disinformasi bahan bakar fosil, mengatakan, perusahaan bahan bakar fosil berbicara tentang kehilangan pekerjaan atau harga energi yang lebih tinggi - tanpa menyebutkan biaya yang akan keluar jika perubahan iklim tidak diatasi.
"Kita hidup dalam kampanye multi-dekade yang dilakukan oleh industri bahan bakar fosil," kata Franta.