KOMPAS.com - Tanggal 27 Juli 1996 merupakan saat terkelam bagi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan dunia politik Tanah Air.
Pada hari itu terjadi tragedi dan pertumpahan darah, setelah kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Nomor 58 Jakarta Pusat diambil alih secara paksa.
Peristiwa itu pun lantas dikenal dengan sebutan Kudatuli atau Kerusuhan 27 Juli. Komnas HAM mencatat, terdapat 5 orang tewas, 149 orang luka-luka, 23 hilang, dan 136 ditahan dalam peristiwa tersebut.
Kudatuli terjadi tidak lepas dari adanya dualisme kepemimpinan di tubuh PDI. Kepemimpinan partai berlambang banteng itu terpecah menjadi dua kubu, yakni kubu Megawati Soekarnoputri dan satu lagi kubu Suryadi.
Peristiwa Kudatuli dikaitkan dengan konflik internal partai saat Kongres IV PDI di Medan, Sumatera Utara yang diwarnai kericuhan. Situasi memanas karena Suryadi disebut mendapat dukungan dari Presiden Soeharto.
Baca juga: 25 Tahun Kudatuli: Peristiwa Mencekam di Kantor PDI
Setelah Orde Baru tumbang, Megawati pun lantas mendeklarasikan berdirinya PDI-Perjuangan (PDIP) yang bertahan hingga sekarang.
Konflik dualisme kepemimpinan dalam partai politik sendiri kerap terjadi di Indonesia. PDI bukan satu-satunya.
Sejumlah partai besar lain juga pernah mengalami hal tersebut, anggotanya terpecah menjadi dua kubu yang saling berebut keabsahan pemimpin yang didukung.
Berikut Kompas.com sajikan sejumlah peristiwa dualisme partai politik di Indonesia :
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tercatat dua kali mengalami konflik di tubuh internalnya. Konflik pertama bermula di tahun 2001, ketika terjadi dualisme antara kubu Alwi Shihab dan Matori Abdul Djalil.
Dualisme tersebut bermula ketika Dewan Syuro PKB memberhentikan Matori Abdul Djalil akibat kehadirannya dalam sidang istimewa MPR yang mencopot Gus Dur sebagai presiden.
Setelah peristiwa itu, PKB pun lantas melakukan Muktamar Luar Biasa (MLB) yang memilih Alwi Shihab sebagai ketua umum. Namun, pendukung Matori bersikeras tidak mengakui kepemimpinan Alwi Shihab.
Baca juga: Jalan Panjang Konflik PKB