KOMPAS.com - Sebaran disinformasi bisa saja mencatut jurnal atau sumber ilmiah sejenis, tetapi narasinya dipelintir sehingga menyesatkan publik.
Misalnya, mengutip penelitian ilmiah tentang khasiat kunyit yang mengandung imunomodulasi atau jahe yang mengandung antiinflamasi.
Penelitian itu memang ada dan sudah teruji kebenarannya. Namun, sebaran hoaks di media sosial memanfaatkan terbitan jurnal untuk membuat klaim bahwa virus corona bisa disembuhkan dengan tanaman herbal itu.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Ika Ningtyas mengatakan bahwa perilaku semacam ini disebut pseudosains.
"Intinya memang dikemas seolah-oleh ini adalah produk ilmu pengetahuan atau science," kata Ika saat diskusi Terkini Tanpa Hoaks yang diadakan Google Indonesia bersama #CekFakta, Rabu (9/2/2022).
Baca juga: Perluas Jaringan dan Edukasi, Ini Langkah Kolaborasi Cek Fakta Jelang Pemilu 2024
Perilaku pseudosains biasanya melibatkan tokoh atau sosok yang dianggap sebagai sumber terpercaya, padahal mereka hanya mencari pembenaran pada suatu teori tanpa pembuktian yang jelas.
Penyebar hoaks kerap menyebarkan pendapat dari dokter, saintis, atau sosok yang diklaim sebagai ahli tetapi menutupi rekam jejak ilmiahnya.
"Mereka memang orang-orang yang sebenarnya sebelumnya pernah menjadi scientist, terlibat di dunia kedokteran misalnya, terlibat dalam dunia-dunia penelitian dan sebagainya, dan kemudian di saat pandemi ini kita menjumpai orang-orang seperti ini justru banyak menyesatkan publik," ujar Ika.
Idealnya, ilmu pengetahuan dilakukan dengan proses yang cukup panjang dengan tahapan yang detail.
Baca juga: Menelisik Mitos Generasi 90-an: Pulpen Wangi Mengandung Narkoba?
Ika berpendapat, ahli yang terlibat di dalam penelitian yang layak dijadikan rujukan pun harus terbukti kredibel.
"Ini yang membutuhkan kerja keras juga dari para pemeriksa fakta. Pemeriksa fakta harus bisa begitu ya, memverifikasinya secara saintis gitu. Dengan memilih narasumber dari para ahli yang dia memang bekerja secara kredibel juga, bukan abal-abal," pungkasnya.
Namun, banyak teori konspirasi yang menghubungkan hal berlainan, lalu dikemas seolah-olah saintifik padahal sebenarnya adalah pseudoscience.
Ika mengimbau agar masyarakat waspada dengan konten semacam ini.
"Hati-hati dengan konten-konten seperti ini, ini membuat publik, terutama di saat pandemi, memang menjadi lebih susah dan kebingungan untuk membedakan ini salah atau betul," tutur Ika.
Baca juga: PT Barnum, The Greatest Showman, Pembuat Hoaks Terbesar Sepanjang Sejarah