Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mewaspadai Pseudosains, Senjata Andalan Penyebar Hoaks

Kompas.com - 10/02/2022, 14:41 WIB
Tim Cek Fakta

Penulis

KOMPAS.com - Sebaran disinformasi bisa saja mencatut jurnal atau sumber ilmiah sejenis, tetapi narasinya dipelintir sehingga menyesatkan publik.

Misalnya, mengutip penelitian ilmiah tentang khasiat kunyit yang mengandung imunomodulasi atau jahe yang mengandung antiinflamasi.

Penelitian itu memang ada dan sudah teruji kebenarannya. Namun, sebaran hoaks di media sosial memanfaatkan terbitan jurnal untuk membuat klaim bahwa virus corona bisa disembuhkan dengan tanaman herbal itu.

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Ika Ningtyas mengatakan bahwa perilaku semacam ini disebut pseudosains.

"Intinya memang dikemas seolah-oleh ini adalah produk ilmu pengetahuan atau science," kata Ika saat diskusi Terkini Tanpa Hoaks yang diadakan Google Indonesia bersama #CekFakta, Rabu (9/2/2022).

Baca juga: Perluas Jaringan dan Edukasi, Ini Langkah Kolaborasi Cek Fakta Jelang Pemilu 2024

Populer di antara penyebar teori konspirasi

Perilaku pseudosains biasanya melibatkan tokoh atau sosok yang dianggap sebagai sumber terpercaya, padahal mereka hanya mencari pembenaran pada suatu teori tanpa pembuktian yang jelas.

Penyebar hoaks kerap menyebarkan pendapat dari dokter, saintis, atau sosok yang diklaim sebagai ahli tetapi menutupi rekam jejak ilmiahnya.

"Mereka memang orang-orang yang sebenarnya sebelumnya pernah menjadi scientist, terlibat di dunia kedokteran misalnya, terlibat dalam dunia-dunia penelitian dan sebagainya, dan kemudian di saat pandemi ini kita menjumpai orang-orang seperti ini justru banyak menyesatkan publik," ujar Ika.

Idealnya, ilmu pengetahuan dilakukan dengan proses yang cukup panjang dengan tahapan yang detail.

Baca juga: Menelisik Mitos Generasi 90-an: Pulpen Wangi Mengandung Narkoba?

Ika berpendapat, ahli yang terlibat di dalam penelitian yang layak dijadikan rujukan pun harus terbukti kredibel.

"Ini yang membutuhkan kerja keras juga dari para pemeriksa fakta. Pemeriksa fakta harus bisa begitu ya, memverifikasinya secara saintis gitu. Dengan memilih narasumber dari para ahli yang dia memang bekerja secara kredibel juga, bukan abal-abal," pungkasnya.

Namun, banyak teori konspirasi yang menghubungkan hal berlainan, lalu dikemas seolah-olah saintifik padahal sebenarnya adalah pseudoscience.

Ika mengimbau agar masyarakat waspada dengan konten semacam ini.

"Hati-hati dengan konten-konten seperti ini, ini membuat publik, terutama di saat pandemi, memang menjadi lebih susah dan kebingungan untuk membedakan ini salah atau betul," tutur Ika.

Baca juga: PT Barnum, The Greatest Showman, Pembuat Hoaks Terbesar Sepanjang Sejarah

Awal pseudosains berkembang

Melansir laman edukasi Stanford, 3 September 2008, secara spesifik pseudosains berkaitan dengan doktrin dan praktik non-ilmiah, termasuk penolakan terhadap sains atau fakta.

Istilah ini berasal dari bahasa Latin "pseudoscientia" yang sudah digunakan sejak paruh pertama abad ke-17 dalam diskusi tentang hubungan antara agama dan penyelidikan empiris

Adapun penggunaan istilah bahasa Inggris "pseudoscience" tertua tercatat pada 1796, ketika sejarawan James Pettit Andrew menyebut alkimia sebagai ilmu semu yang fantastis.

Umumnya, kata "sains" digunakan untuk merujuk ilmu alam dan bidang penelitian lain yang dianggap serupa dengannya. Sementara, ekonomi, politik, dan sosiologi dianggap sebagai ilmu, sedangkan studi sastra dan sejarah dikecualikan.

Sejak paruh kedua abad ke-20, disiplin ilmu integratif seperti astrofisika, biologi evolusioner, biokimia, ekologi, kimia kuantum, ilmu saraf, dan teori permainan telah berkembang dengan pesat, sehingga berkontribusi untuk menyatukan disiplin ilmu yang sebelumnya tidak berhubungan.

Pseudosains menentang berbagai bidang ilmu tersebut.

Oxford English Dictionary mendefinisikan pseudosains sebagai ilmu yang pura-pura atau palsu.

Pseudosains juga bisa merujuk pada kelompok atau kepercayaan duniawi yang secara keliru menganggap suatu informasi berdasarkan metode ilmiah atau menjadi kebenaran ilmiah, padahal salah.

Beberapa bentuk pseudosains memiliki tujuan utama untuk melawan teori ilmiah atau cabang ilmu pengetahuan. Ini juga bisa disebut promosi teori semu atau penyangkalan terhadap sains.

Penolakan terhadap sains kemudian menghasilkan kontroversi palsu dengan klaim yang seolah ilmiah.

Strategi samacam ini sudah diterapkan sejak 1930-an oleh para penyangkal teori relativitas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[KLARIFIKASI] Video Erupsi Gunung Ruang, Bukan Anak Krakatau

[KLARIFIKASI] Video Erupsi Gunung Ruang, Bukan Anak Krakatau

Hoaks atau Fakta
Sejarah Kepulauan Falkland yang Diperebutkan Inggris dan Argentina

Sejarah Kepulauan Falkland yang Diperebutkan Inggris dan Argentina

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] PSSI Putuskan Timnas Tidak Akan Ikut Piala AFF

[HOAKS] PSSI Putuskan Timnas Tidak Akan Ikut Piala AFF

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Hoaks Lingkaran Merah pada Tabung Gas Elpiji 3 Kg Tanda Keamanan, Cek Faktanya

INFOGRAFIK: Hoaks Lingkaran Merah pada Tabung Gas Elpiji 3 Kg Tanda Keamanan, Cek Faktanya

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Pengibaran Bendera Palestina di Milan Bukan Dilakukan Menteri Italia

INFOGRAFIK: Pengibaran Bendera Palestina di Milan Bukan Dilakukan Menteri Italia

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Foto Zelensky dan Istrinya Berpose dengan Tumpukan Uang

[HOAKS] Foto Zelensky dan Istrinya Berpose dengan Tumpukan Uang

Hoaks atau Fakta
[VIDEO] Hoaks! Menag Minta Masyarakat Ikhlaskan Dana Haji untuk IKN

[VIDEO] Hoaks! Menag Minta Masyarakat Ikhlaskan Dana Haji untuk IKN

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Erupsi Gunung Tangkuban Parahu pada 11 Juni

[HOAKS] Erupsi Gunung Tangkuban Parahu pada 11 Juni

Hoaks atau Fakta
Kilas Balik Kecelakaan Pesawat Garuda DC-10 di Jepang pada 1996

Kilas Balik Kecelakaan Pesawat Garuda DC-10 di Jepang pada 1996

Sejarah dan Fakta
[KLARIFIKASI] Patung Lilin Paus Yohanes Paulus II, Bukan Jenazah yang Masih Utuh

[KLARIFIKASI] Patung Lilin Paus Yohanes Paulus II, Bukan Jenazah yang Masih Utuh

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Shah Rukh Khan Meninggal Dunia

[HOAKS] Shah Rukh Khan Meninggal Dunia

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Konten Satire soal Elon Musk Luncurkan Ponsel Pesaing iPhone

[KLARIFIKASI] Konten Satire soal Elon Musk Luncurkan Ponsel Pesaing iPhone

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Konten soal Khasiat Daun Calincing Gunakan Gambar Keliru

[KLARIFIKASI] Konten soal Khasiat Daun Calincing Gunakan Gambar Keliru

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Video Penjemputan Jenazah Lukas Enembe, Bukan Demo di Cirebon

[KLARIFIKASI] Video Penjemputan Jenazah Lukas Enembe, Bukan Demo di Cirebon

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Video Unjuk Rasa Buruh Dinarasikan Menuntut Usut Kasus Vina

[KLARIFIKASI] Video Unjuk Rasa Buruh Dinarasikan Menuntut Usut Kasus Vina

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com