Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alami 16 Kali Matahari Terbit dan Terbenam dalam Sehari, Bagaimana Astronot Tidur di Stasiun Antariksa?

Kompas.com - 18/03/2024, 16:00 WIB
Diva Lufiana Putri,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Astronot di Stasiun Antariksa Internasional (ISS) perlu menyesuaikan jam tidur karena waktu siang dan malam yang berbeda dengan Bumi.

ISS mengorbit antara 370 hingga 460 kilometer di atas permukaan Bumi, dengan kemiringan 51,6 derajat atau mencakup sekitar 90 persen wilayah berpenduduk Bumi.

Menurut Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), proyek gabungan multinasional yang melibatkan lima badan antariksa ini akan melewati tempat yang sama di Bumi setiap tiga hari sekali.

Stasiun luar angkasa ini membutuhkan waktu sekitar 90 menit untuk mengelilingi planet Bumi. Oleh karena itu, ISS bisa mengorbit Bumi sebanyak 16 kali dalam sehari.

Astronot di dalamnya pun bisa menyaksikan 16 Matahari terbit serta 16 Matahari terbenam setiap hari.

Dengan jam yang tidak wajar tersebut, para astronot tentu kesulitan menemukan ritme alami tubuh yang tepat selama berada di luar angkasa.

Lantas, bagaimana cara mereka tidur selama di ISS?

Baca juga: Tomat yang Dipanen di Luar Angkasa Hilang, Ditemukan 8 Bulan Kemudian


Cara astronot tidur di ISS

Guna memudahkan dan menjaga jadwal tetap konsisten, ISS mengikuti zona waktu standar Greenwich Mean Time (GMT).

Dengan mengikuti zona waktu GMT, para astronot bisa memperkirakan kapan waktu tidur dan bangun selama menetap di luar angkasa.

Kendati demikian, ritme sirkadian dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, termasuk paparan sinar Matahari dan iklim.

Ritme sirkadian sendiri merupakan ritme alami yang meliputi proses internal tubuh untuk mengatur waktu bangun-tidur selama 24 jam guna memastikan semua fungsinya berjalan optimal.

Karenanya, Matahari yang terbit dan terbenam hingga 16 kali dalam sehari pun menjadi eksperimen bagi astronot untuk menemukan ritme tidur yang tepat.

Dalam eksperimen Circadian Light oleh astronot Badan Antariksa Eropa (ESA) Andreas Mogensen, tim menciptakan lampu yang dirancang untuk mendukung ritme sirkadian astronot di luar angkasa.

Dilansir dari laman ESA, Andreas memasang lampu tersebut di dalam kabin awak, tempatnya tidur, pada hari ketiga berada di luar angkasa.

Di malam hari waktu GMT, saat Andreas tertidur, lampu menyala merah untuk menyimulasikan Matahari terbenam yang menenangkan.

Halaman:

Terkini Lainnya

Kemendikbud Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris untuk SD, Pakar Pendidikan: Bukan Menghafal 'Grammar'

Kemendikbud Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris untuk SD, Pakar Pendidikan: Bukan Menghafal "Grammar"

Tren
Semifinal Piala Asia U23 Indonesia Vs Uzbekistan Tanpa Rafael Struick, Ini Kata Asisten Pelatih Timnas

Semifinal Piala Asia U23 Indonesia Vs Uzbekistan Tanpa Rafael Struick, Ini Kata Asisten Pelatih Timnas

Tren
Gempa M 4,8 Guncang Banten, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami

Gempa M 4,8 Guncang Banten, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami

Tren
Soal Warung Madura Diimbau Tak Buka 24 Jam, Sosiolog: Ada Sejarah Tersendiri

Soal Warung Madura Diimbau Tak Buka 24 Jam, Sosiolog: Ada Sejarah Tersendiri

Tren
Kapan Pertandingan Indonesia Vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23 2024?

Kapan Pertandingan Indonesia Vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23 2024?

Tren
Penelitian Ungkap Memelihara Anjing Bantu Pikiran Fokus dan Rileks

Penelitian Ungkap Memelihara Anjing Bantu Pikiran Fokus dan Rileks

Tren
Swedia Menjadi Negara Pertama yang Menolak Penerapan VAR, Apa Alasannya?

Swedia Menjadi Negara Pertama yang Menolak Penerapan VAR, Apa Alasannya?

Tren
Bisakah BPJS Kesehatan Digunakan di Luar Kota Tanpa Pindah Faskes?

Bisakah BPJS Kesehatan Digunakan di Luar Kota Tanpa Pindah Faskes?

Tren
BMKG Ungkap Penyebab Cuaca Panas di Indonesia pada April 2024

BMKG Ungkap Penyebab Cuaca Panas di Indonesia pada April 2024

Tren
Muncul Kabar Dita Karang dan Member SNSD Ditahan di Bali, Ini Penjelasan Imigrasi

Muncul Kabar Dita Karang dan Member SNSD Ditahan di Bali, Ini Penjelasan Imigrasi

Tren
10 Mata Uang Terkuat di Dunia 2024, Dollar AS Peringkat Terakhir

10 Mata Uang Terkuat di Dunia 2024, Dollar AS Peringkat Terakhir

Tren
Cara Ubah File PDF ke JPG, Bisa Online atau Pakai Aplikasi

Cara Ubah File PDF ke JPG, Bisa Online atau Pakai Aplikasi

Tren
Mengenal Penyakit Infeksi Arbovirus, Berikut Penyebab dan Gejalanya

Mengenal Penyakit Infeksi Arbovirus, Berikut Penyebab dan Gejalanya

Tren
Federasi Sepak Bola Korea Selatan Minta Maaf Usai Negaranya Gagal ke Olimpade Paris

Federasi Sepak Bola Korea Selatan Minta Maaf Usai Negaranya Gagal ke Olimpade Paris

Tren
Profil Joko Pinurbo, Penyair Karismatik yang Meninggal di Usia 61 Tahun

Profil Joko Pinurbo, Penyair Karismatik yang Meninggal di Usia 61 Tahun

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com