Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Radityo Dewandaru Basoeki, SH, MH
Swasta

Pemerhati Isu Hukum

Rambu Hukum Pembuatan Konten Video Parodi

Kompas.com - 13/07/2023, 11:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

POPULARITAS fitur berbagi video pendek yang disediakan berbagai platform media sosial kian digemari masyarakat.

Selain karena diringkas agar dapat ditonton kapanpun bahkan disela kesibukan, keberagaman konten, baik yang bersifat informatif maupun menghibur yang diunggah oleh pengguna di seluruh dunia menjadikannya fitur favorit masyarakat.

Dari berbagai jenis konten video, salah satu yang menjadi kegemaran masyarakat adalah konten Parodi terhadap hal-hal yang sedang ramai diperbincangankan masyarakat alias viral.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), parodi merupakan karya sastra atau seni yang dengan sengaja menirukan gaya, kata penulis, atau pencipta lain dengan maksud mencari efek kejenakaan.

Artinya, konten parodi dibuat atau diciptakan dengan meniru karya lain yang ditambahkan dengan konsep ciptaannya sendiri agar dapat memancing gelak tawa penontonnya.

Di Indonesia, hak kekayaan intelektual dalam bentuk karya seni dilindungi oleh Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”).

Berdasarkan regulasi tersebut, seorang Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memegang hak eksklusif atas karya/ciptaannya dan memperoleh manfaat berupa hak moral maupun hak ekonomi yang melekat pada ciptaannya tersebut.

Terkait parodi terhadap bentuk hak cipta lain, perbuatan peniruan tersebut masih menjadi diskursus di kalangan masyarakat, khususnya dari sudut pandang kaca mata hukum Indonesia mengenai perlindungan kekayaan intelektual.

Lantas apakah memparodikan suatu karya seni dianggap sebagai perbuatan yang dilarang berdasarkan hukum negara Indonesia?

Dalam penyusunannya, demi kepentingan nasional, UUHC bertujuan mengutamakan keseimbangan antara kepentingan Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait dengan masyarakat, serta memperhatikan ketentuan dalam perjanjian internasional di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait sebagaimana tertuang dalam paragraf akhir Penjelasan Umum dari UUHC.

Proporsionalitas hak antara Pemegang hak cipta dengan masyarakat tersebut ditegaskan dalam penggalan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUHC, yang berbunyi ".... tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Pemberian batasan terhadap hak seorang Pemegang hak cipta, atau biasa dikenal 'Free of Uses' (doktrin fair use), adalah muatan dari Berne Convention yang diatur demi menghargai ciptaan berupa suatu karya modifikasi sebagai karya orisinil yang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama.

Berne Convention ini telah diratifikasi Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works.

Dalam hukum positif Indonesia, doktrin Fair Use diatur dalam Bab VI mengenai Pembatasan Hak Cipta di UUHC, yakni antara Pasal 43 sampai dengan Pasal 48.

Secara implisit, doktrin fair use yang dapat diterapkan sebagai sarana untuk melindungi pembuat video Parodi atas penggunaan materi hak cipta tanpa izin dari si Penciptanya, termuat dalam Pasal 43 huruf d dan Pasal 44 ayat (1) UUHC.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com