Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Rambu Hukum Pembuatan Konten Video Parodi

Selain karena diringkas agar dapat ditonton kapanpun bahkan disela kesibukan, keberagaman konten, baik yang bersifat informatif maupun menghibur yang diunggah oleh pengguna di seluruh dunia menjadikannya fitur favorit masyarakat.

Dari berbagai jenis konten video, salah satu yang menjadi kegemaran masyarakat adalah konten Parodi terhadap hal-hal yang sedang ramai diperbincangankan masyarakat alias viral.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), parodi merupakan karya sastra atau seni yang dengan sengaja menirukan gaya, kata penulis, atau pencipta lain dengan maksud mencari efek kejenakaan.

Artinya, konten parodi dibuat atau diciptakan dengan meniru karya lain yang ditambahkan dengan konsep ciptaannya sendiri agar dapat memancing gelak tawa penontonnya.

Di Indonesia, hak kekayaan intelektual dalam bentuk karya seni dilindungi oleh Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”).

Berdasarkan regulasi tersebut, seorang Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memegang hak eksklusif atas karya/ciptaannya dan memperoleh manfaat berupa hak moral maupun hak ekonomi yang melekat pada ciptaannya tersebut.

Terkait parodi terhadap bentuk hak cipta lain, perbuatan peniruan tersebut masih menjadi diskursus di kalangan masyarakat, khususnya dari sudut pandang kaca mata hukum Indonesia mengenai perlindungan kekayaan intelektual.

Lantas apakah memparodikan suatu karya seni dianggap sebagai perbuatan yang dilarang berdasarkan hukum negara Indonesia?

Dalam penyusunannya, demi kepentingan nasional, UUHC bertujuan mengutamakan keseimbangan antara kepentingan Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait dengan masyarakat, serta memperhatikan ketentuan dalam perjanjian internasional di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait sebagaimana tertuang dalam paragraf akhir Penjelasan Umum dari UUHC.

Proporsionalitas hak antara Pemegang hak cipta dengan masyarakat tersebut ditegaskan dalam penggalan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUHC, yang berbunyi ".... tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Pemberian batasan terhadap hak seorang Pemegang hak cipta, atau biasa dikenal 'Free of Uses' (doktrin fair use), adalah muatan dari Berne Convention yang diatur demi menghargai ciptaan berupa suatu karya modifikasi sebagai karya orisinil yang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama.

Berne Convention ini telah diratifikasi Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works.

Dalam hukum positif Indonesia, doktrin Fair Use diatur dalam Bab VI mengenai Pembatasan Hak Cipta di UUHC, yakni antara Pasal 43 sampai dengan Pasal 48.

Secara implisit, doktrin fair use yang dapat diterapkan sebagai sarana untuk melindungi pembuat video Parodi atas penggunaan materi hak cipta tanpa izin dari si Penciptanya, termuat dalam Pasal 43 huruf d dan Pasal 44 ayat (1) UUHC.

Isinya, pencipta video parodi tidak diperkenankan memperoleh manfaat secara komersil dari ciptaannya dan/atau ia juga harus mencantumkan sumber lengkap di mana ia memperoleh materi untuk ciptaannya, selama ciptaannya tidak merugikan suatu kepentingan yang wajar dari pencipta awal.

Namun pembatasan berdasarkan doktrin fair use ini tidak menghapuskan hak si Pencipta atau Pemegang Hak Cipta suatu karya yang diparodikan untuk menempuh jalur hukum, baik secara pidana maupun perdata.

Sayangnya, sekalipun Indonesia telah melaksanakan Berne convention, sampai saat ini, belum ada ketentuan, baik di tingkat peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaan di bawahnya, yang mengatur secara eksplisit mengenai legalitas pembuatan konten Parodi.

Bahkan tidak ada putusan pengadilan atau yurisprudensi yang bisa diaplikasikan terhadap fenomena tersebut.

Berbeda dengan negara–negara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, para hakim di yurisdiksi Amerika Serikat mengikuti 4 faktor fair use yang diatur dalam Section 107 Copyright Act 1976.

Faktor fair use tersebut, yakni the purpose and character of use, the nature of the copyrighted work, the amount and substantiality of the portion used in relation to the copyrighted work as a whole, dan the effect of the use upon the potential market or value of the copyrighted work.

Salah satu contoh terkenal mengenai bentuk pengaplikasian keempat faktor tersebut adalah pada putusan "New York’s federal court" yang pernah memberikan pengakuan kepada Jamie Keeling, atas karya parodi-nya terhadap film Point Break, sehingga karya parodinya tersebut berhak memperoleh perlindungan atas hak cipta.

Di sisi lain, Uni Eropa juga memiliki pengaturan eksplisit mengenai parodi, khususnya dalam Pasal 5 ayat (3) huruf K InfoSec Directive 2021.

Persoalannya di Indonesia, membuat video parodi terhadap bentuk ciptaan lainnya belum diatur dengan tegas dalam hukum positif, sehingga persoalan tersebut harus diselesaikan secara kasus per kasus.

Pada praktiknya, penyelenggara platform pengunggahan video masing-masing memiliki kebijakan tersendiri dalam menyelesaikan klaim seorang pencipta terhadap konten dari akun yang diduga menjiplak karya-nya.

Bentuk penyelesaian akhir berupa penghapusan (take-down) konten atau bahkan penghapusan akun terduga pelanggar kebijakan.

Apabila kemudian hari ada kasus yang sampai ke jalur hukum, terlebih lagi sampai menjadi suatu yurisprudensi, maka hal tersebut bisa jadi angin segar bagi para praktisi hukum kekayaan intelektual di Indonesia.

Putusan tersebut bisa menuntaskan diskursus, apakah pembuatan konten parodi termasuk perbuatan ilegal atau sebaliknya, dianggap sebagai karya yang patut mendapatkan perlindungan berdasarkan UUHC.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/07/13/110437465/rambu-hukum-pembuatan-konten-video-parodi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke