TAJUK Rencana harian Kompas, pada 5 Juni 2023 mengulas tentang kelanjutan pembangunan jalan yang menembus hutan lindung di Aceh yang diberi judul “Hutan Dibelah Tanpa Lelah”.
Pemerintah Aceh menyebut bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan izin pemakaian hutan untuk pembangunan jalan tembus yang menghubungkan Jantho (Aceh Besar) – Lamno (Aceh Jaya) sehingga tahun depan proyek bisa dilanjutkan lagi untuk tujuh kilometer ruas jalan.
Proyek itu disebut bagian dari pembangunan Jalan Ladia Galaska (akronim dari Lautan India (Meulaboh)-Gayo Alas (Takengon-Blangkenjeran)-Selat Malaka (Peureulak) yang memicu pro dan kontra. Proyek jalan tembus itu membelah Kawasan Ekosistem Leuser dengan alasan membuka keterisolasian wilayah pedalaman Aceh.
Baca juga: Hutan Konservasi, Jenis, dan Perbedaannya dengan Hutan Lindung
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), organisasi yang mengadvokasi isu lingkungan, menyoroti izin dari KLHK pada April 2023 yang diterbitkan setelah hutan dibuka pemda.
Terlepas adanya pro dan kontra tentang pembangunan jalan di Aceh tersebut, mari kita cermati terlebih dahulu istilah atau pengertian pengelolaan hutan di Indonesia. Pasal 21 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan, pengelolaan hutan meliputi pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.
Pemanfaatan kawasan hutan merujuk pada pemanfaatan areal negara itu dalam ruang lingkup kegiatan usaha kehutanan. Sementara, penggunaan hutan merujuk pada pemakaian di luar kehutanan, seperti pembangunan jalan, pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan, perkebunan, permukiman, pencetakan sawah baru, pembangunan ibu kota negara (IKN) baru seperti Nusantara dan sejenisnya.
Mekanisme yang ditempuh dalam penggunaan kawasan hutan ada dua, yakni pelepasan kawasan hutan yang nantinya akan diubah menjadi HGU/HGB/HP oleh Kementerian ATR/BPN dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang diterbitkan KLHK.
Untuk kegiatan pembangunan non-kehutanan demitujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pembangunan jalan, pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan, dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung dengan mekanisme yang ditempuh melalui IPPKH.
Sementara untuk kegiatan pembangunan non-kehutanan seperti perkebunan, permukiman, pencetakan sawah baru, pembangunan ibu kota negara (IKN) Nusantara, dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi khususnya hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dengan mekanisme yang ditempuh melalui pelepasan kawasan hutan.
Dalam konteks pembangunan jalan di Aceh yang dimaksud di atas, ada dua hal yang perlu diluruskan dan diletakkan pada porsi yang sebenarnya agar tidak terjadi misleading.
Pertama, secara regulasi, UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 38 ayat (1) menyebut bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
Jadi pembangunan jalan menembus hutan lindung di Aceh diperbolehkan/diizinkan, namun dilaksanakan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan, dilarang.
Selain pembangunan jalan, kegiatan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.
Baca juga: Perbedaan Suaka Margasatwa, Hutan Lindung, dan Taman Nasional
Mekanisme yang ditempuh dalam membangun jalan dalam kawasan hutan lindung adalah melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang diterbitkan KLHK.
Kedua, lain halnya dengan pembangunan jalan di kawasan konservasi, semisal Taman Nasional (TN) Gunung Leuser, memang perlu diperdebatkan. Panjang jalan yang tembus dan membelah Kawasan Ekosistem Leuser itu disebut pemerintah 496,5 kilometer; yang berkembang menjadi lebih dari 1000 kilometer seiring pengembangan oleh pemerintah daerah.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya