Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjualbelikan Lahan Hutan Lindung, Pengembang di Batam Dipidanakan

Kompas.com - 23/05/2023, 09:00 WIB
Muhdany Yusuf Laksono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian ATR/BPN menyeret salah satu pengembang nakal di Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), yakni PT Megah Karya Nanjaya, ke ranah hukum.

Pengembang itu terbukti memperjualbelikan kavling di kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai, serta melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kepri dan UU Penataan Ruang.

Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang, Ditjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR), Kementerian ATR/BPN, Ariodillah Virgantara menjelaskan, penyidikan kasus perubahan fungsi lahan di kawasan hutan lindung yang diperjualbelikan berdasarkan hasil audit tata ruang Kawasan Strategis Nasional Batam, Bintan, dan Karimun, oleh Kementerian ATR/BPN pada tahun 2019.

"Ditemukan ketidaksesuaian rencana tata ruang dengan implementasi di lapangan. Ternyata, hasil audit yang seharusnya hutan, sudah tidak menjadi hutan lagi. Setelah ditelusuri melalui citra satelit tahun 2020, 2021, dan 2022 terdapat gerakan, di mana tutupan lahan yang masih ada pada tahun 2017 mulai dibongkar. Selanjutnya, lahan tersebut dijadikan kavling-kavling yang dijual dengan harga murah," ungkapnya dalam keterangan resmi dikutip Selasa (23/05/2023).

Baca juga: Bikin Investasi Rp 3,2 Triliun Hilang, 80 Kasus Mafia Tanah Bakal Digebuk

Menurut dia, setelah proses audit, sebetulnya Kementerian ATR/BPN telah memasang papan peringatan di kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai.

Pada papan peringatan tersebut, jelas tertulis mengenai Pasal 73 huruf c dan d Perda Provinsi Kepulauan Riau Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau Tahun 2017-2037, yang menyebutkan larangan perluasan lahan pemukiman atau budidaya dan melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan dan kerusakan dan ekosistemnya sehingga mengurangi fungsi kawasan.

Pada papan peringatan tersebut juga tertulis ancaman pidana Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan bahwa setiap orang yang dalam melakukan usaha dan/atau kegiatannya memanfaatkan ruang yang telah ditetapkan tanpa memiliki persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang dan mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidanakan dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 2,5 miliar.

"Kami telah dua kali memasang plang peringatan yang melarang pembangunan di daerah hutan lindung. Plang pertama, dibangun tahun 2020 dan tidak lama sudah dibongkar oleh oknum yang tidak dikenal. Kemudian, kami memasang kembali plang peringatan pada tahun 2022, yang menyatakan kawasan hutan tidak diperkenankan untuk dilakukan pembangunan," bebernya.

Kendati demikian, papan peringatan tidak dihiraukan dan aktivitas pembangunan tetap berjalan dengan sejumlah rumah yang telah berdiri.

Sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut, Ariodillah menegaskan, Budi Sudarmawan selaku Direktur Utama PT Megah Karya Nanjaya terbukti telah melakukan tindakan ilegal dan melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 69.

Kemudian, Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang, Ditjen PPTR, menindaklanjuti ke Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau hingga Kepolisian Daerah untuk melakukan penindakan terhadap tersangka.

"Sejak Undang-undang Penataan Ruang berlaku sejak tahun 2007, baru pada tahun 2023 atau selama 16 tahun terdapat pelanggar tata ruang yang merugikan negara sebesar Rp 77 miliar ini dikenai sanksi pidana," katanya.

Dalam proses yang berjalan hampir satu tahun, Ditjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang telah menemukan tersangka dan berkas perkaranya telah lengkap atau P21.

"Berkas telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Batam dan akan sidang dua minggu lagi," imbuhnya.

Baca juga: Pemerintah Gebuk Mafia Tanah yang Palsukan Verklaring di Kalteng, Begini Kronologinya

Ariodillah menjelaskan, kasus mengenai lahan hutan lindung yang diperjualbelikan ini tidak hanya merugikan negara, namun juga masyarakat.

Sebab, sudah terjadi tahap transaksi jual beli yang dilakukan oleh tersangka secara sepihak. Bahkan, telah terdapat kurang lebih 60 konsumen yang dirugikan.

"Jadi, tersangka menjual kavling dengan sangat murah. Satu kavling itu dengan perkiraan luasan sebesar 50–60 meter persegi dengan harga antara Rp 10 juta-Rp20 juta. Tersangka membuat masterplan palsu yang dikarang sendiri dan dibuat sendiri tanpa persetujuan Badan Pengusahaan (BP) Batam," pungkasnya.

 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com