Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Itu Ultra Petita dalam Vonis Ferdy Sambo, Putri, dan Kuat Ma'ruf?

Kompas.com - 14/02/2023, 13:15 WIB
Aditya Priyatna Darmawan,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhkan vonis lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J. 

Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo divonis hukuman mati. Sementara sang istri, Putri Candrawathi divonis 20 tahun penjara dalam kasus tersebut.

Vonis hukuman yang diberikan kepada Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi jauh lebih berat dari tuntutan jaksa penutut umum (JPU). Sebelumnya Sambo dituntut pidana penjara seumur hidup sementara Putri Candrawathi dituntut JPU 8 tahun penjara.

Terbaru, terdakwa Kuat Ma'ruf divonis 15 tahun penjara, lebih berat dari tuntutan JPU yakni 8 tahun penjara. 

Vonis hakim terhadap ketiga terdakwa yang melebihi tuntutan jaksa disebut sebagai ultra petita, apa itu ultra petita?

Baca juga: Profil Wahyu Iman Santoso, Ketua Majelis Hakim yang Jatuhkan Vonis Mati pada Ferdy Sambo

Penjelasan tentang ultra petita

Dilansir dari Kompas.com, ultra petita merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin. Ultra berarti sangat, sekali, dan berlebihan. Sedangkan petita berarti permohonan.

Secara umum, ultra petita dapat diartikan sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang diminta.

Penjelasan mengenai ultra petita tercantum dalam Pasal 178 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) dan Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg).

Pasal 178 HIR berbunyi, “Ia (hakim) tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat.”

Sementara bunyi Pasal 189 Ayat 3 RBg, yakni “Ia dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberikan lebih dari yang dimohon.”

Baca juga: Apa Itu Ultra Petita?

 

Putusan ultra petita dalam perkara pidana dan perdata

Dalam hukum acara pidana, saat melakukan pemeriksaan di persidangan hingga memutuskan perkara, hakim harus berlandaskan pada dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum.

Disebutkan di Pasal 182 Ayat 4 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), musyawarah terakhir hakim untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.

Berdasarkan aturan ini, pada prinsipnya, hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa jika perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaan.

Namun, pada pelaksanaannya, beberapa putusan pidana yang dijatuhkan oleh hakim di luar atau melebihi dakwaan dan tuntutan dari jaksa penuntut umum.

Secara prinsip, putusan ultra petita juga tidak diperkenankan dalam penyelesaian perkara perdata.

Putusan ultra petita bahkan dapat menjadi alasan diajukannya permohonan peninjauan kembali.

Alasan tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 67huruf c UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yakni apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut.

Meski demikian, sama seperti perkara pidana, putusan ultra petita dalam perkara perdata juga secara normatif diperbolehkan untuk sejumlah kasus.

Putusan ini tentu dengan mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. 

Baca juga: Vonis Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi: Kejutan Ultra Petita yang Agung

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com